BALI TRAFIC CONGENTION: JALAN TOL LAUT BALI PADMAJALA SAGARA
Membayangkan Jalan Tol Laut Bali sebagai Jaring Teratai Peradaban, sebuah Solusi Beretika Memuliakan dan Memartbatkan Kebudayaan Bali Dalam Membangun Bali Dvipa Pada Sektor Transportasi Publik Sumbangan Pemikiran dari Swarapuram Center for Sciences and Spirituality
JMA I Ketut Puspa Adnyana, Magister Perencanaan Kota dan Daerah, dan Doktor Bidang Tata Ruang dan Geografi Fisik UGM
12/26/20254 min read


BALI TRAFIC CONGENTION: JALAN TOL LAUT BALI PADMAJALA SAGARA
PENGANTAR
Bali dikenal di mancangara berkat buku Island of Bali yang ditulis Miguel Duclaud Covarrubias dan terbit tahun 1937. Obsesi orang mengunjungi Bali sangat besar saat itu, khususnya orang Amerika. “Akankah Bali dapat bertahan atas dampak pariwsata?’, tanya Covarrubias atas kekawatirannya pada berkembangnya pariwisata di Bali. Saat ini, Bali sedang berada dalam persimpangan sejarah. Pulau kecil yang menjadi pusat kebudayaan dunia ini kini menanggung beban yang jauh lebih besar daripada tubuh ekologisnya. Kemacetan yang kian parah, penyempitan ruang, tekanan pembangunan, dan berkurangnya lahan subur telah menjadi kegelisahan bersama, bukan saja krama Bali. Di zaman ketika daratan semakin penuh, sedangkan kebutuhan mobilitas terus meningkat, Bali memerlukan visi baru tentang ruang, arah, dan jalan bagi masa depan. Pemikiran perencanaan ini harus memuliakan dan memartabatkan kebudayaan Bali yang adiluhung.
Dalam konteks inilah gagasan Jalan Tol Laut Bali Padmajala Sagara lahir: sebuah rute transportasi pesisir–lautan yang menghubungkan kawasan Selatan hingga Barat Bali tanpa menembus sawah, permukiman adat, atau ruang-ruang suci dan sakral. Jalan ini bukan sekadar infrastruktur fisik, melainkan sebuah ideologis, spiritual, ekologis, dan kultural tentang bagaimana sebuah peradaban melindungi tanah sucinya sambil tetap bergerak maju. Gagasan didasarkan pada pemahaman Tri Hita Karana, ruang Sanga Mandala, dan konsep modern Urban Transport Planning (Meyer & Miller), dalam bingkai Kebudayaan Bali.
PADMAJALA SAGARA: Filosofi Sebuah Nama
Nama Padmajala Sagara berasal dari dua kata:
padma = teratai, simbol kesucian dan kebijaksanaan,
jala = jaringan, karena jalan ini tidak tunggal lurus, tetapi akan terdapat setidaknya 4 (empat) nodel yang bermakna filosofis tinggi,
sagara = laut, ruang tak berhingga.
Maka Padmajala Sagara berarti “Jaringan Jalan Teratai di Laut” — sebuah metafora bahwa jalan ini bukan garis beton yang memotong Bali, tetapi kelopak-kelopak teratai yang mengapung di samudra, melindungi daratan dari tekanan pembangunan dan abrasi laut selatan.
Ia adalah jalan yang tidak menyakiti tanah, tidak memutus jalur budaya, dan tidak merusak kahyangan. Sebaliknya, ia menjaga Bali dari arah laut, seperti tameng lembut yang menyerap beban pulau, pun sebagai temeng abrasi laut selatan.
KRISIS YANG KITA HADAPI: Saat Daratan Tidak Lagi Memadai
Pertumbuhan kendaraan, mobilitas pariwisata, dan pembangunan masif telah membawa Bali pada kondisi:
Level of Service (LOS) E–F di banyak ruas: kemacetan parah, delay ekstrem, yang boros secara finasial dan lelah psikologis.
Konversi lahan sawah dan tegalan untuk jalan dan pemukiman, yang berdampak bukan saja materi tetapi ritual keagamaan.
Tekanan terhadap ruang suci, setra, pura, dan struktur desa adat, yang menekan makna niskala.
Fragmentasi bentang alam karena jaringan jalan yang semakin merangsek ke dalam daratan, yang mengubah lanskap dan morpologi tanah Bali dengan view indah yang hilang.
Pertanyaannya adalah:
Apakah kita akan terus membebani tanah Bali, ataukah kita mencari jalan baru di ruang yang paling minim konflik: lautan?
Jawabannya adalah: Tol Laut sebagai Jalan Etis Baru
Tol laut bukan sekadar alternatif teknis. Ia adalah pilihan etis dan memuliakan Kebudayaan Bali. Mengapa?
Menghindari kerusakan lahan subur Bali
Tidak ada sawah yang ditimbun, tidak ada tanah adat yang digusur, tidak ada rumah yang dipindahkan, ritual dilesatarikan.Melindungi ruang-ruang suci dan jalur kosmologis
Bali dengan sistem mandala nawa sanga dan ruang ritualnya tidak terganggu.Memberi “napas baru” pada daratan
Beban lalu lintas dipindahkan ke jalur pesisir dan laut yang menawarkan pemandangan dan panorama indah dan asri.Mengembalikan hubungan manusia–laut
Laut bukan lagi latar belakang wisata, melainkan jalur kehidupan budaya dan ekonomi yang sakral yang sejak dahulu kala menjadi sesanti yang diwariskan leluhur sampai hari ini.
LINGKARAN PADMA: Simpul Peradaban Baru (Padma Nodel Sakral)
Padmajala Sagara tidak dibayangkan sebagai jalan lurus, melainkan sebagai jaringan padma (padma nodes) — lingkaran-lingkaran ruang yang menyatu dengan titik-titik penting pesisir:
1. Tanah Lot – Padma Suci: Simpul hening sebagai penghormatan pada dang kahyangan yang menjaga barat daya Bali.
2. Soka – Padma Rekreasi dan Seni: Ruang istirahat, ruang ekonomi rakyat, dan pusat estetika pesisir.
3. Pura Rambut Siwi – Padma Dharma: Ruang kontemplatif yang menjaga garis sakral pesisir Barat.
4. Negara – Padma Ekonomi–Peradaban: Simpul metropolitan, logistik, dan mobilitas lintas pulau.
Padma-padma yang merupakan kelopak daun padma ini membentuk ritme perjalanan yang spiritual dan estetis:
suci → indah → suci → dinamis.
Menyatukan Sains, Spiritualitas, dan Hukum Ruang
Konsep Padmajala Sagara sejalan dengan prinsip:
RTRW Bali: perlindungan sawah, kawasan suci, dan pesisir (Pola dan Struktur Ruang).
RDTR desa adat (Rencana Tata Ruang Wewngkon Desa Adat): mengurangi tekanan pembangunan daratan dan kontrol serta pengawasan pemanfaatan ruang.
Hukum transformasi Indonesia: efisiensi, mobilitas, dan keberlanjutan.
Di sini terlihat bahwa sains transportasi, teori ruang, dan filosofi Bali tidak berlawanan, melainkan bersinergi dalam satu visi: melindungi Bali sambil bergerak maju.
KENAPA KITA HARUS MEMULAI PERCAKAPAN INI HARI INI?
Karena jika kita menunda 10–20 tahun lagi, Bali akan:
kehilangan lebih banyak sawah,
semakin macet,
semakin tertekan oleh pembangunan,
kehilangan kekuatan kosmologisnya.
Padmajala Sagara bukan sekadar proyek infrastruktur; ia adalah cara berpikir baru: pembangunan harus menghormati kesucian tanah Bali, menjaga simbol-simbol leluhur, dan menempatkan lingkungan sebagai pusat peradaban.
PENUTUP: Jalan Masa Depan Bali
Sumbangan pemikiran untuk membangun: Jalan Tol Laut Bali Padmajala Sagara adalah mimpi, visi, dan mungkin provokasi. Tetapi setiap peradaban besar dimulai dari percakapan yang berani, kritis, analistis dan akademik.
Jika Bali ingin tetap menjadi rumah bagi tradisi agung, ruang suci, dan keseimbangan kosmologisnya, maka Bali perlu berani membayangkan infrastruktur yang tidak merusak tanah suci yang diwariskan leluhur Bali dengan sesanti adiluhungnya.
Padmajala Sagara adalah jalan yang:
tidak menindih,
tidak merusak,
tidak mengganggu,
tetapi mengalir lembut di laut, melindungi pulau dengan memuliakan dan memartabatkan kebudayaan Bali.
Kita semua, Krama Nuwed dan Krama Tamiu telah hidup dari keramah-tamahan Bali, mari kita bersama menjaga Bali, karena dari sini kita masih menikmati pemandangan indah, udara yang segar, berkesenian dan menikmati budaya sambil menjaga kebudayaan Bali yang diluhung. Tetapi yang lebih penting mebangun generasi baru yang maju dan spiritual. Mari kita bersama mulai hari ini bergerak ke depan menuju Bali Raya yang maju dengan tetap menjaga jati diri dan kebudayaanya yang terus beradaptasi.
SEBUAH AJAKAN UNTUK KRAMA BALI
Mari kita mulai percakapan besar ini.
Mari kita pikirkan bersama: bagaimana membangun tanpa merusak?
Padmajala Sagara bukan sekadar jalan, tetapi cara baru menjaga Bali:
pembangunan yang menghormati alam, budaya, dan kesucian pulau.
Ini bukan sekadar infrastruktur:
Ini adalah sebuah tapa brata peradaban: mengendalikan keinginan untuk mengambil tanah darat (prthivi), dan memilih jalur yang lebih sulit tetapi lebih benar secara moral.
Ini adalah persembahan gagasan dari Swarapuram Center for Sciences and Spirituality,
untuk Bali hari ini dan Bali seratus tahun mendatang.
Rahayu Rahayu Rahayu.
Brand
Explore our sleek website template for seamless navigation.
Contact
Newsletter
info@email.com
Oo
© 2024. All rights reserved.