KISAH MAHABHARATA PANGERAN SAKUNI (Bagian 2)
Pada bagian 1 dikisahkan Sakuni bertemu dengan Dewi Gandari dan meminta Pangeran Sakuni kembali melihat Kerajaan Gandara. Sakuni menyanggupi. Hati gelisah Sakuni tak terbendung, namun ia tetap mengindahkan pesan Dewi Gandari. Mari ikuti Bagian 2. Rahayu
JMA I Ketut Puspa Adnyana
12/26/20256 min read


Bagian Kedua (2)
Matahari telah menebarkan sinarnya yang cerah keseluruh istana Hastinapura. Sengatan jejaring sinarnya menghangatkan tubuh. Burung-burung yang bertengger di dahan mendendangkan kicau yang merdu alami. Di ujung ujung daun pohon pelindung sejenis trembesi menitik perlahan kemudian menggoyangkan daun dibawahnya. Titik air yang menggantung di ujung daun intaran yang bak alis perempuan cantik bagaikan mutiara berlian berkilau terkena sinar. Di kejauhan terdengar lenguh berbagai binatang dan juga kokok ayam jantan menantang. Jalan raya di depan istana mulai tampak ramai oleh lalu lalang penduduk kota. Ada yang membuka lapak, ada yang mendorong gerobang dagangan dan kegiatan lainnya.
Sang pangeran berdiri dan memandang ke arah kejauhan. Tampak gerombolan embun embun pagi yang menutup puncak puncak gunung. Sang Pangeran Gandara tampak gelisah, kerut di keningnya nampak sedang memikirkan sesuatu yang serius. Lalu ia membalik punggungnya ia menghadap ke istana, melihat pintu besar yang begitu kokok dan tampak angker serta berwibawa. Pintu itu seolah berkata”engkau tidak akan dapat kemanapun tanpa belas kasihku”. Kehidupan sendiri menurut Pangeran Sangkuni adalah masuk dari satu kamar yang satu ke kamar yang lain, dan terus maju tanpa harus mencoba membuka kamar yang telah lewat. Hatinya gelisah dan jengkel, karena nyaris dirinya tidak mampu menenangkan dirinya. Ia mengepalkan tangannya dan memukul perlahan teras, kemudian mengangkatnya lagi dan tersenyum. Ia menuju meja kecil yang diatasnya tersedia berbagai buah dan kue. Ia menyukai makan buah di pagi hari sebelum menyantap sarapannya. Ia menuju ke kamarnya dan menunggu waktu. Beberapa saat kemudian ia keluar dan membawa sejenis benda dari tulang yang selalu ia bawa: dadu dari tulang paha ayahnya.
Kaputren di pagi hari nampak sibuk, menyiapkan berbagai kepentingan permaisuri. Dewi Gandari segera beringsut dari tempat duduknya ketika pelayan mengatakan kedatangan adiknya, Pangeran Sakuni. Sakuni menyentuh kaki kakaknya dan menuntun kakaknya ke sebuah kursi yang memang khusus untuknya. Pangeran Sakuni meminta dayang untuk menyiapkan satu kursi di samping sang permaisuri untuk dirinya sendiri.
“Mengapa engkau sangat pagi datang menemuiku adikku? Aku sudah mendengar banyak cerita tentang dirimu. Aku berharap engkau menjaga diri dan memegang martabat keluarga Subala dan leluhur kita. Jangan engkau kecewakan ayahanda kita. Aku mendengar engkau juga sudah mengunjungi Gandara”; kata Dewi Gandari lembut.
“Benar Kakak Dewi. Aku telah melihat istana kita. Tidak ada yang baru kecuali penataan taman yang semakin bagus. Entahlah karena aku masih sangat kecil saat itu. Namun…secara umum aku mengatakan istana kita indah. Mungkin aku akan sering kembali ke sana. Aku mengkhawatirkan keselamatan dirimu Kakak Dewi”, kata Sakuni seraya memijit lengan kakaknya.
“Engkau tidak perlu mengkawatirkan diriku. Aku merasa sangat aman disini. Lama lama aku merasa bahwa Hastinapura adalah tanggungjawabku. Itu lahir secara perlahan lahan setelah aku semakin banyak merenung. Hidup ini harus membangun kasih sayang adikku, dan tulus serta bersyukur atas apa yang kita dapatkan hari ini. Kita harus belajar melupakan kejadian masa lalu yang pahit agar perasaan dendam itu hilang.”
Pangeran Sakuni melepaskan tangan kakaknya dan berdiri menuju sebuah pas bunga besar yang menebarkan bau harum. Ia diam.
“Apa yang engkau pikirkan adikku?”
“Aku mengerti Kakak Dewi. Engkau adalah permaisuri disini dan kewajibanmu mencintai negeri ini. Itu sah, aku tidak mempersoalkannya. Namun aku masih tetap mengenang keluarga kita, ayah terutama. Ayah adalah seorang Raja yang terhormat, meskipun kita adalah bagian dari kerajaan besar ini. Kita tidak pernah sekalipun melakukan pembangkangan. Engkau seharusnya lebih peka, kakak”, kata Sakuni sambil membalikkan badannya dan menghadap Dewi Gandari.
“Aku harus peka apa maksudmu?. Apakah engkau merasa kakakmu ini sudah tidak memiliki kasih sayang kepadamu adikku? Adakah aku sudah menelantarkan dirimu? Bicaralah engkau dengan jelas adikku!”, kata Gandari yang bangkit dari duduknya dan perlahan mendekati adiknya, Pangeran Sakuni. Ia kemudian sebagaimana dalam setiap pertemuan ia meraba wajah adiknya itu.
“Pandu telah memiliki putera pertama”, kata Sakuni.
Suara Sakuni agak lemah tetapi terdengar menggelagar bagi Dewi Gandari. Dewi Gandari nampak sedikit terhuyung lalu memegangi perutnya yang buncit akibat kandungan yang terus membesar. Dewi Gandari telah mengandung selama dua tahun, namun tidak kunjung melahirkan. Pikirannya jauh ke depan, bila Dewi Kunti sekarang telah berhasil memiliki seorang putra tentu saja ia mempunyai peluang lebih besar menjadikan putranya itu Pangeran Mahkota, yang akan memimpin kerajaan Hastinapura. Karena ayahnya Maharaja Pandu masih berstatus sebagai Raja, sementara Maharaja Destarata hanylah raja pengganti. Dewi Gandari membayangkan bagaimana sakitnya hati suaminya itu bila akhirnya kerajaan yang dipimpinnya kembali ke anak Pandu. Apakah anak Pandu nantinya menganggap mereka sebagai orang tua yang patut dihargai. Dewi Gandari menunduk dan tampak wajahnya sedih, ia meneteskan air mata merasakan kepedihan yang akan ia rasakan bersama suaminya yang sekarang menjadi raja pengganti. Dalam rasa sedih itu, ia mendengar kata adiknya.
Pangeran Sakuni: “Bagaimana engkau menjelaskan kepada Maharaja apabila beliau mengetahui kandungan kakanda Dewi sudah dua tahun. Manusia macam apa yang engkau kandung Kakak Dewi? Tahukah engkau masa depanmu dan suamimu jika engkau tidak memiliki putra? Engkau akan hanya menjadi onggokan yang tidak berguna. Engkau seharusnya sejak kandunganmu 9 bulan sudah berpikir, apa yang terjadi? Tapi engkau diam membisu Kakak Dewi. Engkau memedam perasaanmu sendiri. Kenapa engkau tidak membaginya kepada adikmu ini?”
Mendengar kata kata adiknya, Dewi Gandari, bangkit dari duduknya. Badannya menggigil, kemudian tampak wajahnya memerah, lalu ia memuja kepada Dewi Durga: “ Oh junjunganku penguasa semua mahluk, yang berhati welas asih, Yang kejam bagaikan Mahakali. Tunjukkanlah dirimu dan beri aku anugrah..”, teriak Dewi Gandari kemudian memukuli perutnya. Pangeran Sakuni kaget dan memerintahkan dayang untuk segera memanggil tabib istana. Segumpal daging keluar dari kandungan dewi Gandari, yang karena kagetnya ia menedang dengan ujung kakinya gumpalan daging itu, yang terserak menjadi seratus bagian. Saat itu terdengar lolongan Srigala di berbagai penjuru di tangah hari dan di taman taman terdengar suara burung gagak saling besautan. Awan hitam menutupi kota disertai angin kencang menderu dan menerbangkan debu dan dedaunan dan benda lainnya. Serentak seiisi kota merasa merinding dan ketakutan. Beberapa saat kemudian diumumkan Bundasuri telah melahirkan putera. Puetara pertama diberi nama Suyudana.
Puruhita Kripacarya bergegas menemui Maharaja Destarata untuk menyampaikan pertanda yang ditunjukkan alam. Maharaja sedang ditemani Mahamenteri Widura. Mendengar kedatangan Puruhita Kripacarya, Mahamenteri Widura bangkit dan menuntut Kripacarya ke tempat duduknya seraya sujud dan menyetuh kakinya.
‘Salam Paduka, semoga Padaka selalu berbahagia dan dilindungi oleh Sang Pencipta Hyang Paramakawi. Mahamentri semoga engkau pula dapat menjalankan pemerintahan dengan baik dan adil”, kata Kripacarya. Raja tersenyum dan berterima kasih atas doa puruhita kerajaan.
“Maharesi apakah anda sudah mendengar berita gembira ini, dimana aku sekarang telah menjadi seorang Ayah. Citacitaku memiliki anak yang banyak, bahkan melebihi apa yang aku harapkan aku mendapatkan 100 putra. Aku baru saja mendengar kisah bahagia ini dari Mahamenteri, adikku Widura yang bijaksana. Apa pendapatmu Maharesi?”, kata Maharaja Destarata memulai perbincangan dengan sangat gembiran.
“Itulah Paduka, kedatanganku menemui Paduka adalah untuk membahas putera puteramu itu. Tidak ada seorang ayah pun yang merasa berdosa atas kelahiran anak anaknya. Itulah kemuliaan murni yang dimiliki oleh seorang ayah atau orang tua. Tidak ada kebahagian yang melebihi ketika seseorang yang pada tahap grihastasarama memiliki anak sebagai harta yang sangat tinggi nilainya”.
Paduka Raja nampak sedikit tertegun, ia menangkap makna kalimat yang kurang lumbrah diucapkan oleh seorang Mahamuni. Ia mencoba menenangkan dirinya, kemudian kata Raja:
“Maharsi aku sangat berbahagia tentunya sebagaimana acarya sudah sebutkan itu. Namun aku menangkap nada yang kurang bermakna dalam ucapan Maharsi tadi. Apa sesungguhnya yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang terjadi dalam kelahiran anakku acarya?”.
Mendengar ucapan Maharaja Destarata, Mahamenteri Widura ikut memberikan tanggapan, katanya:
“Maharsi, engkau adalah murid langsung Mahamuni Agung Parasurama, tentu saja engkau mempunyai pertimbangan yang akurat mengenai pertanda tanda alam yang terjadi saat kelahiran kemenakanku yang berjumlah 100 orang itu. Mohonlah kiranya mahamuni menjelaskan”.
Susana agak mencekam, karena baik Mahamenteri Widura ataupun Maharaja Desatrata menunggu tanggapan dari Kripacarya. Terdengar hembusan nafas yang panjang, kemudian Kripacarya berkata:
“Anakku, aku ada di Istana ini sebelum engkau lahir, dan menjadi penasehat raja sebelumnya dan sampai saat ini mendampingi Paduka, karena itu engkau berdua tentu saja mempercayai reputasiku. Kelahiran putramu disertai dengan pertanda buruk, yang tidak menguntungkan kerajan Hastinapura yang besar ini. Dalam sastra Veda disebutkan berbagai tanda kelahiran”.
Destarata yang baru saja sangat bergembira mendangar kelahiran puetra puteranya menjadi kaget dan ia tampak tertekan kemudian meminta Kriparcaya untuk menjelaskan lebih lanjut.
“Pertanda alam saat lahir putra putramu menandakan kelahiran iblis, yang akan mendatangkan kehancuran bagi negerimu Paduka”.
Susasana membeku, Maharaja kemudian bertanya kepada adiknya, Mahamenteri Wdiura yang bijaksana.
“Adikku..engkau baru saja memberitakan hal yang baik mengenai keberuntunganku memiliki 100 orang putera. Namun sekarang mahamuni yang memiliki hati yang suci telah mengatakan sesuatu yang terbalik dari kisahmu yang menggembirakan. Adikku katakanlah sesuatu, bualah kakakmu ini tetap bergembira”, Raja bangkit dari duduknya dan segera dipapah oleh Sanjaya.
Mahamenteri Widura, menunduk dan kemudian mengangkat wajahnya menyembah kepada mahamuni, kemudian katanya:
“Mohonlah mahamuni membeikan penjelasan yang lebih mudah dipahami sehingga kami dapat melakukan langkah langkah baik untuk menyelamatkan negeri ini dan putera putera maharaja”.
Mahamuni memjamkan matanya, lama terdiam, kemudian katanya perlahan:
“Aku melihat kehancuran Hastinapura bila anak anak ini tidak dibunuh sebelum menjadi besar”.
Maharaja langsung duduk dan bergetar, mengigil tanpa suara. Widura menyentuh kakaknya dan mencoba menenangkan Maharaja.
Pada saat mnjelang Kripacarya menjelaskan alasannya, datanglah Pangeran Sakuni dengan wajah yang tampak sangat bergembira ia menyembah dan menyentuh kaki Kripacarya kemudian membalik badannya kepada Sang Raja dan Mahamenteri.
“Paduka maafkanlah aku, kedatanganku menghadapmu sesungguhnya untuk mengucapkan selamat, dan memang aku menyampaikan selamat Paduka. Tetapi hatiku menjadi mendidih tidak tertahankan atas persekongkolan dua orang ini untuk merencanakan pembunhan yang keji. Sastra apa dalam Veda yang menyebutkan pembunuhan itu dibolehkan. Apa salah dari bayi bayi mungil itu, yang lahir bukan atas kehendaknya, tetapi dititahkan oleh Sang Pencipta?”.
Mendengar kata kata Pangeran Sakuni yang tajam dan menyayat hati, Mahamenteri Widura bangkit dan mendekati Pangeran Sakuni. Sakuni mundur dan berkata:
“Tenaglah wangsa Sudra, jangan pernah menyentuh diriku ini. Engkau memang seorang Mahamenteri di Hastinapura, namun engkau tidak dapat menghilangkan jejak leluhurmu. Aku mendengar Mahamuni merencanakan pembunuhan kejam ini”.
“Diamlah engkau Pangeran”, kata Maharaja Destarata. Mendengar perintah Maharaja, Pangeran Sakuni tertunduk dan diam. (bersambung ke bagian 3, Kendari: 06022020).
Brand
Explore our sleek website template for seamless navigation.
Contact
Newsletter
info@email.com
Oo
© 2024. All rights reserved.