KISAH MAHABHARATA PANGERAN SAKUNI BAGIAN 5

Bhisma dan Widura melanjutkan pemberincangan mengenai adanya upaya Sakuni untuk melakukan makar. Kedua tokoh besar Hastinapura sangat berhati-hati menyangkut kemanan negara dan emnyangkut keluarga raja.

JMA I Ketut Puspa Adnyana

12/29/20255 min read

Bagian 5

Hastinapura sebuah kerajaan yang besar. Seluruh pemerintahan hampir dijalankan oleh Sang Pelindung : Rsi Bhisma, dan Mahamenteri Widura. Maharaja Drestarastra hanya mengambil keputusan terakhir berdasarkan apa yang telah disiapkan mahamenteri, karena keterbatasan fisik Raja Drestarastra. Keterbatasan penglihatan raja dipeburuk oleh sumpah setia permaisuri yang juga memutuskan untuk menutup matanya. Banyak orang mengatakan bahwa Dewi Gandari adalah seorang patibrata. Patibrata artinya seorang istri yang sangat setia kepada suaminya. Tidak ada orang yang tahu kebenaran dari sumpah Dewi Gandari menutup matanya sepanjang hidupnya, hanya Dewi Gandarilah yang tahu tujuan sesungguhnya. Manusia dibatasi oleh kecerdasannya, sehingga manusia lebih mempercayai lebih dahulu persepsinya, sebelum memahami sesuatu.

Mahamentri Widura, putra Abiyasa pagi itu bergegas menuju paseban untuk menyelesaikan beberapa administrasi pemerintahan. Ia berencana menemui Pelindung Hastinapura, Pangeran Dewa Bharata. Mahamenteri Widura adalah seorang petinggi kerajaan yang memiliki pengetahuan luas, memiliki kebijaksanaan yang cerdas, memahami strategi perang meskipun ia tidak belajar menggunakan senjata. Pada masa itu, tidak ada satupun pejabat yang mengungguli pengetahuan Mahamenteri Widura.

Salah satu hal yang tidak dimiliki orang lain, Widura sangat unik. Mahamenteri Widura sangat tegas dapat membedakan mana kepentingan peribadi dan kepentingan negara. Ia sangat cekatan membedakan mana hak dari negara dan mana hak pribadinya. Itulah sebabnya, Mahamenteri Widura meskipun memegang jabatan tertinggi dalam pemerintahan, ia tetap hidup sederhana. Dikisahkan, putera Mahamenteri Widura hanyalah seorang kusir kerajaan, yaitu Sanjaya, sais Maharaja Drestarastra yang sesungguhnya adalah kemenakannya. Widura dan Drestarata serta Pandu adalah saudara kandung lain ibu. Sampai akhir kisah Mahabharata, Widura belum berhasil membangun rumahnya sendiri di tepi kota Gajah Oya, ibukota Hastinapura.

“Berita apa yang engkau bawa anakku?”, kata Pengeran Dewa Bharata. Panggilan “anak” kepada Widura menunjukkan kasih sayang Dewabratha. Widura mengmabil duduk di sebuah kursi disamping pamannya. Mahamenteri Widura menarik nafas panjang, dan katanya:

“Sepeninggal ibunda suri Dewi Satyawati, nenekku, kerajaan memang berkembang pesat secara ekonomi. Kerajaan menjadi lebih luas karena keperkasaan paduka. Kerajaan bawahan juga rajin membawa pajak yang menjadi bagiannya. Namun aku merasa ada sebuah hal yang mengganggu pikiranku paman”. Bhisma menoleh Widura yang menatap jauh ke depan.

“Engkau seorang Mahamenteri dan engkau juga memiliki kemampuan untuk melakukan pengamatan terhadap kejadian kejadian dan pertanda. Tentu saja telik sandimu dapat dipercaya. Aku mempercayai itu. Namun ketika aku melihat wajahmu dan nada bahasamu sepertinya ada hal yang berat engkau pikirkan. Katakanlah apa yang menganjal pikiranmu”, kata Bhisma dengan nada lembut.

“Paman aku melihat Pangeran Kuru dan Panca Pandawa adalah sebuah masalah di masa depan”, kata Widura tegas. Bhisma terkejut atas penjelasan Widura. Bhisma merasakan bahwa kedua pihak cucu cucunya baik dari pihak Drestarata dan Pandu sampai hari ini baik baik saja. Mereka adalah cucu cucu yang menyenangkan. Lalu bagaimana mungkin mereka adalah sumber masalah.

“Bagaimana mungkin itu terjadi anakku, bukankah mereka saudara sepupu yang saling merindukan. Au tidak melihat potensi perseteruan diantara mereka. Renungkanlah kembali, apa yang menjadi pikiranmu itu mungkin saja keliru. Atau mungkin juga engkau kelelahan dalam mengemban tugas negara ini sehingga muncul pikiran yang aneh seperti itu”, kata Bisma agak keras intonasinya menunjukkan keterperanjatannya. Widura adalah seorang pejabat tinggi yang ahli dalam bernegosiasi, sehingga ia dapat meredam ketersinggungannya. Lalu katanya:

“Banyak sejarah paman dari sejak dahulu sampai sekarang tahta adalah rebutan. Bagaimana mungkin Yudistira tidak menuntut hak atas kerajaan ini, karena ayahnya sendiri Raja Pandu adalah raja yang sah, sedangkan Drestarata hanyalah raja pengganti. Suyudana putera sulung Drestarata dan Gandari juga merasa bahwa dirinyalah pewaris tahta. Sejak lahir Suyudana mengetahui bahwa ayahndanya adalah Maharaja Hastinapura”. Kata Widura. Tanpa menunggu lama Bhisma berkata:

“Lalu apa yang engkau ingin sampaikan anakku?”.

“Kelak nampaknya perlu pembagian kerajaan kepada dua kelompok ini paman. Kondisi ini diperparah karena baik Dewi Kunti maupun Dewi Gandari adalah seorang permaisuri, mereka menggalang dukungan pada kelompok kelompok elit dalam pemerintahan. Paman aku melihat Rsi Doumya lebih memihak pada Kunti. Sementara aku melihat Gandari tidak terlalu mencemaskan kedudukan tahta. Ia paham bahwa suaminya adalah raja pengganti”, kata Widura. Bhsima manggut manggut dan menyapu janggutnya yang panjang. Kemudian katanya:

“Secara alamiah itu pasti terjadi anakku. Itu hak mereka masing masing. Nanun demikian, aku tertarik pada hal pewarisan ini. Aku sejak kembalinya putra putra Pandu sudah memikirkannya. Kelak ada bagian dari kerajaan ini harus diserahkan kepada Panca Pandawa. Apa yang kau pikirkan lagi tentang negeri yang besar ini?”.

“Aku gembira karena paman sudah melihat potensi kedua pihak ini. Aku paham kedudukan begitu penting bagi seseorang. Mereka semua keturunan raja yang sah. Aku setuju dengan apa yang paman pikirkan. Kita harus merenungkan wilayah yang mana kelak cocok untuk Pandawa. Masalah ini nanti. Tetapi tujuanku menghadap pagi ini ada yang lebih penting untuk saat ini”.

Bhisma tertawa. Bukan mentertawai apa yang akan disampaikan mahamenteri, tetapi prilaku manusia yang suka berbelit belit. Ciri sebuah birokrasi adalah nyelimet, pikir Bhisma. Namun ia juga sadar menyederhanakan birokrasi tidaklah mudah, karena karakter birokrasi begitu adanya. Bhsima mengenang leluhurnya, yang sejak dahulu Wangsa Kuru ini menguasai tanah Bharata. Turun temurun. Kini Wangsa Kuru mencapai puncaknya kejayaannya. Bhisma boleh bangga dan tersenyum karena semua itu berkat perjuangannya. Ia tampak tersenyum bangga.

“Berita penting apa yang engkau ingin sampaikan anakku?”, tanya Bhisma kepada Widura memecah keheningan. Widura bangkit dan menyentuh kaki pamannya, pelindung Hastinapura.

“Maafkan aku paman”, sebelum melanjutkan Widura memberi tanda kepada semua orang yang dekat dengannya menjauh. Pembicaraan hanya mereka berdua yang mendengar. Bhsima tertegun, menunggu laporan Widura:

“Paman sudah memahami. Untuk mencapai kejayaan dan kemakmuran Hastinapura, banyak orang yang menjadi korban. Orang orang kecil yang menjadi korban ini telah menghimpun diri untuk suatu saat melakukan gerakan yang tidak pernah kita tahu kapan saatnya. Sebagai mahamenteri aku memandang sangat perlu menyampaikan ini kepadamu. Aku kawatir ada gerakan bawah tanah yang sulit diamati paman”.

Bhisma termenung memandang jauh ke luar istana. Ia melihat jajaran gunung gunung tinggi yang mengitari tanah Bharatawarsa. Ia sesungguhnya tidak merasa gentar terhadap musuh sekuat apapun. Hanya Ramaprasu yang dapat menandinginya, bahkan Bhisma meyakini bila peperangan sampai puncak ia merasa lebih unggul. Namun kini menghadapi gerakan di bawah tanah, dari kelompok kelompok tertindas yang tidak jelas bentuknya sungguh memusingkan. Bhisma memahami perang dingin dan gerilya yang memusingkan. Lalu Bhisma berkata:

“Apakah engkau…. anakku telah menyelidii dengan seksama? Apakah engkau memiliki informasi yang lebih akurat? Aku sangat menyadari ini. Itulah sebabnya aku tidak pernah menyisakan musuh. Sisa musuh kelak akan membuat kita kesulitan. Meskipun aku yakin dapat menumpasnya, tetapi kita dibuat kehilangan waktu, tenaga dan juga biaya. Aku yakin engkau tidak sembarangan melaporkan sesuatu kepadaku”.

Widura mendekati pamannya dan berkata:

“Aku memiliki informasi yang kuat paman. Namun yang mengagetkan ada peran orang dalam istana. Paman telah meninggalkan sisa musuh yang berbahaya”.

Mendengar penjelasan Widura, Bhisma kaget bukan kepalang. Bhisma membalikkan badannya seraya memegang pundak Widura, katanya berwibawa:

“Widura….kata katamu telah melampau batas. Bagaimana engkau bisa menjelaskan ini?”.

Widura menatap mata pamannya dengan perasaan yang gentar namun ia tidak berkedip, katanya:

“Aku putra Maharsi Abiyasa, yang memilki reputasi tidak terbantahkan di dunia ini paman. Apa untungnya aku mengatakan dusta. Lagipula apa untungku? Aku tidak memiliki niat untuk sebuah tahta ataupun apa…”, kata Widura kemudian menunduk dan mengundrukan diri. Namun Bhisma menahannya, Widura berhenti menahan langkah, lalu diam membisu.

“Lakukanlah penyelidikan yang lebih mendalam..segera engkau laporkan hasilnya.”, kata Bhisma. Widura menunduk dan mengangkat kedua tangan di dada, lalu mengundurkan diri.

Bhisma masih berdiri dan memegang janggutnya. Kata kata Widura tergiang di telinganya. ” Paman telah menyisakan musuh yang berbahaya”. Musuh yang dimaksud tiada lain Pangeran Gandara : Sakuni. Pangeran Sakuni kecil diselamatkan hidupnya dari kolong tempat tidur raja Subala. Sekarang Pangeran Gandara itu telah menjadi pemuda yang tampan, dan bahkan Bhisma telah mendidiknya menjadi orang cerdas dan memahmi ilmu pemerintahan dan ekonomi dengan baik. Ia merasa tidak menyesal mendidiknya. Namun kini, kemenakannya, orang yang paling ia percaya di kerajaan mengatakan sesuatu yang lain. Hati Bhisma bimbang, kemudian ia mendesah dan menuju kamarnya. Kerinduan Bhisma untuk tidur lelap, terabaikan oleh masalah yang pelik.

Malam semakin pekat, Hastinapura mulai menuju peraduan, kadang kadang terdengar suara burung malam dan ciut burung burung pemakan serangga malam. Kelelawar berkelebat, di barat nampak Bulan semakin meredup. Kota tertidur lelap diselimuti kabut malam, mendengkur (bersambung Bagian 6).