MALAM TAHUN BARU 2026: Mulat Sarire, Etika Rasa, dan Jalan Manusia dalam Perpsektif Filsafat Sosial
Etika Rasa berperan sebagai kompas moral. Tanpa Mulat Sarire, manusia hanya menjadi agen perubahan struktural, bukan subjek etis. Lontar Nitisastra mengingatkan dengan tegas: “Tan wenang ngalahang jagat, yan awak tan kasurupan dharma.” (Tak mungkin menata dunia, bila diri sendiri tak dijiwai dharma)
JMA I Ketut Puspa Adnyana
12/31/20253 min read


MALAM TAHUN BARU 2026: Mulat Sarire, Etika Rasa, dan Jalan Manusia dalam Perpsektif Filsafat Sosial
Dialog Lontar dan Filsafat Sosial
Dalam tradisi Hindu Nusantara, Mulat Sarire bukan sekadar ajakan introspeksi, melainkan suatu laku etis. Ia mengandaikan bahwa manusia yang tidak mampu membaca dirinya sendiri, pada akhirnya akan keliru membaca dunia. Lontar Sarasamuscaya dengan halus mengingatkan:
“Ri sakwehning sarwa bhuta, ikang pinaka-utama ring janma, ika ta manusa.”
(Di antara semua makhluk, yang paling utama adalah manusia)
Namun keutamaan manusia bukan terletak pada kekuasaan atau kecerdikan, melainkan pada kemampuan mengelola rasa dan budi. Karena itu lontar yang sama juga menegaskan:
“Yan hana wong tan prasida ngulah rasa, tan wenang ya ngaranang janma utama.”
(Barang siapa tidak mampu mengolah rasa, ia belum layak disebut manusia utama)
Di titik inilah Mulat Sarire menjadi fondasi Etika Rasa—etika yang tidak bermula dari hukum, melainkan dari kesadaran batin.
Etika Rasa adalah kesadaran batin yang hidup yang menuntun manusia menilai, memilih, dan bertindak bukan semata-mata berdasarkan aturan, kepentingan, atau rasionalitas instrumental, melainkan berdasarkan kepekaan terhadap dampak kemanusiaan dari setiap sikap dan tindakan.Dengan kata lain: Etika rasa adalah etika yang lahir dari kemampuan manusia merasakan sebelum bertindak, dan menyadari sebelum menilai.
Etika Rasa dan Weber: Rasionalitas yang Membutuhkan Jiwa
Max Weber berbicara tentang rasionalitas instrumental dan rasionalitas nilai. Modernitas, menurut Weber, kerap terjebak dalam Zweckrationalität—rasionalitas tujuan—di mana tindakan dinilai dari efisiensi dan hasil. Masalahnya, rasionalitas semacam ini mudah kehilangan arah etis.
Mulat Sarire mengingatkan apa yang hilang dalam kerangka Weberian yang dingin: rasa sebagai penuntun nilai. Tanpa rasa, tindakan rasional bisa sah secara sistem, namun cacat secara kemanusiaan. Etika rasa bekerja sebagai inner restraint, pengekang batin, yang tidak dapat digantikan oleh aturan formal.
Weber menyebut ini sebagai ketegangan antara ethic of responsibility dan ethic of conviction. Lontar justru melampaui dikotomi itu: tanggung jawab dan keyakinan hanya bermakna bila batin telah jernih.
Giddens dan Refleksivitas Diri: Tetapi Tanpa Rasa, Ia Menjadi Kosong
Anthony Giddens memperkenalkan konsep reflexive self—diri modern yang terus-menerus menata ulang identitasnya. Sekilas, ini sejalan dengan Mulat Sarire. Namun ada perbedaan halus tetapi penting.
Refleksivitas Giddens bersifat kognitif dan struktural: manusia menilai dirinya berdasarkan sistem sosial yang berubah. Mulat Sarire melangkah lebih dalam: ia bukan sekadar refleksi diri, melainkan pengendapan rasa.
Lontar Slokantara menyiratkan hal ini:
“Rasa pinaka guru ring awak.”
(Rasa adalah guru bagi diri)
Tanpa rasa, refleksivitas berubah menjadi kegelisahan identitas. Dengan rasa, refleksi menjadi kebijaksanaan. Maka cakap membawa diri bukan soal adaptasi tanpa henti, melainkan menjaga pusat batin di tengah perubahan.
Sanderson dan Struktur Perubahan: Siapa Menjaga Etika?
Stephen K. Sanderson melihat perubahan sosial sebagai hasil interaksi teknologi, ekonomi, demografi, dan ideologi. Ia komprehensif, sistematis, dan kuat menjelaskan mengapa masyarakat berubah. Namun pertanyaan etis tetap terbuka: ke arah mana perubahan itu seharusnya dibawa?
Di sinilah Etika Rasa berperan sebagai kompas moral. Tanpa Mulat Sarire, manusia hanya menjadi agen perubahan struktural, bukan subjek etis. Lontar Nitisastra mengingatkan dengan tegas:
“Tan wenang ngalahang jagat, yan awak tan kasurupan dharma.”
(Tak mungkin menata dunia, bila diri sendiri tak dijiwai dharma)
Sanderson menjelaskan mesin perubahan; lontar menjaga martabat manusia di dalam mesin itu.
Carwaka: Tantangan Terkeras bagi Etika Rasa
Carwaka (Cārvāka atau Lokāyata) adalah ujian paling jujur bagi Etika Rasa. Filsafat ini menolak metafisika, karma, dan tujuan moral transenden. Baginya, yang nyata hanyalah yang dapat dirasakan secara inderawi. Maka semboyannya terkenal:
“Yāvaj jīvet sukham jīvet, ṛṇaṁ kṛtvā ghṛtaṁ pibet”
(Selama hidup, hiduplah bahagia, bahkan bila harus berutang demi kenikmatan)
Carwaka mengingatkan bahaya ekstrem dari dunia tanpa Mulat Sarire: rasa direduksi menjadi kenikmatan, etika menjadi pilihan pragmatis. Namun justru dari sini Etika Rasa memperoleh pembenarannya. Rasa dalam lontar bukan sensasi, melainkan kesadaran batin. Ia bukan alat memuaskan diri, tetapi sarana menjaga keseimbangan hidup bersama.
Carwaka jujur, tetapi sempit. Ia melihat manusia sebagai tubuh. Lontar melihat manusia sebagai tubuh yang berkesadaran.
Penutup: Tahun Baru sebagai Laku Etis
Maka memasuki tahun 2026, Mulat Sarire bukan nostalgia spiritual, melainkan tindakan filosofis. Ia menautkan kebijaksanaan lokal dengan refleksi global, etika tradisi dengan tantangan modernitas.
Di tengah rasionalitas Weber, refleksivitas Giddens, struktur Sanderson, dan godaan Carwaka, Etika Rasa berdiri sebagai pengingat sunyi:
bahwa manusia bukan hanya makhluk yang berpikir,
bukan hanya agen perubahan,
dan bukan pula sekadar pencari nikmat,
melainkan penjaga keseimbangan hidup melalui kesadaran diri. Itulah makna terdalam cakap membawa diri.
Dan di sanalah Tahun Baru menemukan martabatnya.
Rahayu.
Brand
Explore our sleek website template for seamless navigation.
Contact
Newsletter
info@email.com
Oo
© 2024. All rights reserved.