PARADIGMA HINDU DALAM MEMPELAJARI WEDA: GENERASI TRADISIONAL DAN MILENIAL
Bagaimana Generasi Millenial mempejari Weda di tengah perkembangan teknologi, komunikasi dan informasi yang semakin lengkap dan Maju. Artikel yang mengabil tema Paradigma Hinduni menjelaskan tentang cara pandang tardisional dan cara pandang millenial dalam mempelajari weda. Transformasi budaya yang melahirkan perubahan, harus diterima sebagai sebuah keniscayaan>
JMA I Ketut Puspa Adnyana
12/28/202517 min read


PARADIGMA HINDU DALAM MEMPELAJARI WEDA:
GENERASI TRADISIONAL DAN MILENIAL
Pengantar
Kekuatan dasar manusia secara fisik (sekala, provan) adalah artha yang dimilikinya. Dengan artha seseorang akan memiliki banyak kelebihan dan mampu melakukan berbagai aktivitas. Artha yang dikumpulkan harus diperoleh berdasarkan dharma. Brahmanacarya Canakya mengatakan “dharmasya moolam arthah”. Artha harus didapatkan dengan cara cara benar. Artha bukan hanya bersifat fisik seperti emas, gedung, tanah, uang, permata dan lainnya, tetapi juga penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang membuat orang menjadi arif bijaksana.
Setelah memiliki artha, seseorang lebih mudah berkarya. Memiliki artha seseorang lebih tenang berpikir. Berpikir yang baik akan menghasilkan perkataan dan perbuatan yang baik. Seseorang yang berhasil berpikir baik, berkata baik, berbuat baik---menjadi orang yang arif bijaksana. Orang orang arif bijaksana inilah yang menjadi solusi masalah hidup. Orang arif bijaksana (saleh) ini pula yang dapat membuat orang lain bergembira “agawe sukaning wong len”. Ini adalah tujuan hidup manusia menurut Hindu, dan moksha adalah tujuan utama yang lain. Dengan demikian menurut Hindu, manusia adalah mahluk fisik lahiriah dan spiritual batiniah, karena kemampuan berpikirnya (manah).
Kadangkala seseorang belajar agama hanya berdialektika pada pengertian sorga (kebaikan) dan neraka (kebatilan) yang menguntungkan dirinya. Seolah olah kehidupan dunia (meterial) harus ditinggalkan. Hindu mengajarkan bahwa kehidupan yang nyaman di dunia (sekala) akan mendukung kehidupan yang damai setelah mati (niskala). Kehidupan setelah kematian adalah tujuan sejati. Ajaran Catur Paramitha menjadi landasannya.
Hindu mengenal Warna Dharma (brahmana, ksatrya, waisya, sudra) dan Catur Asrama (brahmacari, grihasta, wanaprasta, bhiksuka/sanyasin yang menghasilkan aktivitas yang didasarkan pada pemahaman terhadap Triguna (satwa, rajah, tamas) dan dualitas (rwabhineda). Hasil perbuatan atau pahalakarma, karenanya selalu juga bersifat dualitas: hasil baik (subhakarma/sukses/sorga) dan buruk (asubhakarma/gagal/neraka).
Pahalakarma ini dapat diterima pada saat hidup ini (pratyaksa KP) atau pada kelahiran yang akan datang (prarabda KP) dengan membawa kesan kehidupan sebelumnya (karmawasana). Dalam konteks Punarbawa (samsara, punarjatma) seseorang sesuai ajaran Hindu dapat merancang kelahirannya di masa yang akan datang. Umat Hindu dapat merencanakan wujud kelahirannya di masa depan (wong, sato, mina, manuk, taru, buku).
Dalam bingkai warna dharma, seseorang harus melaksanakan aktivitas berdasarkan swadharma masing masing. Pemahaman ini menjadi penting apabila dalam siarnya dikaitkan dengan tahapan dalam hidup menurut Hindu (catur asrama). Sementara itu, Hindu juga mengajarkan tentang berbagai disiplin hidup (yoga) untuk mencapai kehidupan baik pada saat sekarang atau kelahiran berikutnya, yang meliputi paling tidak tiga hal, yaitu: tapasya (pengendalian diri), yajna (kurban suci yang tulus iklas) dan dhanam (kedermawanan). Kehidupan seseorang yang disiplin taat dan patuh pada ajaran Weda sudah pasti memperoleh karma baik (subhakarma) dan terhindar dari perbuatan buruk (asubhakarma) yang merupakan hasil berpikir baik (Satya Yuga). Pikiranlah yang mengawali segala tindakan manusia (budi, manah). Keberhasilan seseorang mengontrol pikiran dengan baik menjadi awal dari keberhasilan memahami Weda.
Tradisi Belajar Weda Versus Belajar Millenial
Tradisi Belajar Weda
Pada masa lalu Weda dipelajari dari Guru Suci yang memahami dan hafal sloka, mantra mengenai satu aspek atau beberapa aspek dalam sekta yang dipimpinnya. Ajaran Weda pada saat itu belum tertulis sehingga menjadi hafalan setiap guru suci dan sisya. Guru suci melantunkan sloka atau mantra kepada sisya dan sisya mengikuti serta menghafal pula. Hal tersebut terjadi dalam proses aguron-guron sejak pertama kali Weda diterima oleh para Guru Suci. Kemudian setelah Weda dikompilasi dan ditulis oleh Rsi Wedawyasa (Rsi Krishna Dwipayana) sedikitnya 5000 tahun lampau pelajaran Weda mulai dari tek-tek tertulis.
Para sisya mempelajari tek-tek sumber ajaran Hindu seperti Weda Sruti dan Weda Smerti dalam bimbingan Guru Suci (guru-parampara) yang tersebar di 1018 sekta (baca artikel penulis: “Mengenal Sampradaya Dalam Ajaran Weda”). Para sisya sekta, yang telah diinisiasi (samskara yajna) menjalani disiplin yang ketat (yoga, tapasya) dan guru suci (parampara) sebagai pusat pengetahuan ajaran Hindu. Para sisya (brahmacari) menghafal dalam pikirannya tek-tek sumber sumber ajaran itu dan dapat melantunkannya kembali sederas aliran sungai, dalam bimbingan guru suci. 3
Setiap sekta mengembangkan tata nilai pengelolaan pembelajaran Weda pada aspek aspek tertentu dengan Ista Dewata tertentu pula, berdampingan dengan sekta-sekta lainnya secara damai (adikara). Pedoman belajar pada sekta-sekta ini kemudian disebut dengan upanisad. Terdapat ribuan upanisad yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa non sansekerta sehingga menyebar keseluruh dunia.
Sesuai dengan warna dharma hanya orang orang tertentu (brahmana, ksatrya) yang dapat mempelajari tek tek sumber ajaran Hindu, sementara warna dharma yang lain cukup melaksanakan sesuai arahan brahmanacarya dan pujari, yang kemudian mentradisi. Kebiasaan mentradisi dalam praktek keagamaan yang berlangsung dalam waktu lama menjadi sebuah kebudayaan suatu bangsa. Timbullah kemudian pengetahuan, kepercayaan dan praktik keagamaan berdasarkan tradisi sekta-sekta ini (mule keto, Bali). Warna dharma tertentu (waisya, sudra) melaksanakan praktik keagamaan (ritual, etika) tanpa harus paham alasan alasan (tatwa) di balik semua praktek yang dilakukannya (gugon-tuwon). Proses pendidikan dengan cara ini menghasilkan orang Hindu yang lemah dalam hal ilmu pengetahuan agama (tatwa) tetapi kuat dalam praktik agama (ritual, sesaji, banten, persembahan, acara, upacara, upakara).
Kelemahan umat Hindu seperti gambaran tersebut bukan saja terjadi di India tetapi juga di Indonesia (khususnya di Bali). Kelemahan tersebut dipandang dan dijadikan celah oleh para misionaris untuk mengkonversi umat Hindu. Upaya mengkonversi orang-orang Hindu oleh para misionaris sangat sistimatik dan terencana. Mereka sangat memehami sosiologi dan falsafah hidup umat Hindu. Untuk kepentingan upaya konversi di India sarjana barat membentuk organisasi yang tujuannya mempelajari weda. Bahkan para misionaris ini dapat melakukan cara memutarbalikkan arti sloka-sloka dalam tek-tek sumber ajaran Hindu. Salah satu misionaris pada saat itu adalah pendeta William Jones di India. Konversi ini terus berlangsung dengan menerapkan “Efek William Jones”. Sungguh upaya yang gigih. Namun mereka juga sadar hasil yang dicapai tidak terlalu mengesankan sejak zaman kolonial sampai sekarang, tetapi ada. Mengapa orang orang Hindu terkonversi? Hal ini perlu dipikirkan terlebih dahulu.
Cara Berpikir Millenial Dalam Belajar Weda
Peradaban dunia sudah berubah dengan sangat cepat. Perubahan itu terjadi karena buah ilmu pengetahuan yang diparktekkan berupa teknologi informasi. Hampir seluruh aspek kehidupan fisik dan spiritual manusia dipengaruhi: pemerintahan, demokrasi, ekonomi, sosial budaya, hubungan Internasional, hubungan antar manusia dan lahirnya komunitas “media sosial” yang merupakan “negara abstrak” dengan jumlah penduduk paling banyak di dunia. Kejadian di pelosok dunia dengan mudah dapat diakses dan dipelajari dan diberi respon beragam oleh seseorang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman. Manusia dalam jarak ratusan ribu kilometer dapat berhubungan dan bertatap muka dalam hitungan detik dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam durasi yang lama. 4
Hadirnya teknologi komunikasi (smartphone, internet) juga berpengaruh sangat kuat pada cara pandang atau pola pikir umat Hindu dalam meningkatkan pengetahuan agama yang dianutnya. Situs atau web yang kontennya ajaran Hindu berkembang pesat dalam jumlah besar. Situs situs tersebut bukan saja dibuat dan dimiliki oleh orang Hindu yang memahami dengan baik ajaran Weda, tetapi juga oleh kelompok kelompok non Hindu dan perguruan tinggi. Karenanya kualitas dan validitas materi Hindu dalam situs situs tersebut beragam. Bila umat Hindu kurang cermat dalam memilih situs berkonten Hindu dan mempercayai materi tidak valid, akan berakibat pada pengetahuannya tidak lengkap dan kabur.
Sebagai akibat dari perkembangan teknologi, sejak abad terakhir seseorang dapat membaca dan mempelajari tek- tek sumber ajaran Hindu dengan “bebas” tanpa dibimbing guru suci. Guru Suci telah digantikan dengan guru “media sosial” yang bisa menjelaskan bukan saja ajaran Hindu tetapi berbagai hal. Kecerdasan buatan (aritificial intelligence) ini berpengaruh sangat kuat pada pengetahuan manusia dewasa ini.
Hal ini terjadi karena pertimbangan efisiensi dan juga didorong banyaknya pustaka suci yang dijual di tokok toko buku dan e-books. Buku buku terjemahan oleh penterjemah yang mungkin saja tidak pernah melihat dan paham tek-tek asli pustaka suci tersebut. Sebegaian besar buku buku yang merupakan terjemahan kelompok misionaris dan kelompok Indologi tersebar sangat luas.
Sementara itu, dewasa ini, ada kecendrungan orang-orang Hindu dan masyarakat pada umumnya mulai “meninggalkan” sumber ajaran agama dan lebih mempercayai “nasehat nasehat” para motivator. Materi materi siar motivator sangat memikat dan memesona. Pada dasarnya bila dicermati materi para motivator tidak jauh dari bahasa Weda dengan narasi yang sesuai dengan cara pandang millenial. Motivator telah menjadi pandita Shang Brahmanacarya, adaikata mereka melakukan diksa samskara yajna. Siapa mereka?
Sumber-sumber ajaran Hindu seperti disebutkan sebelumnya juga telah ditemukan dalam format aplikasi berbasis internet: Aplikasi e-books dan lainnya. Lengkaplah sudah bahwa ajaran agama Hindu dipelajari sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya oleh pemeluk Hindu sendiri. Sesuatu yang tidak dapat ditolak dan dihindari pada saat ini.Orang Hindu sendiri telah belajar agama yang diyakini tidak lagi dari guru.
Sekelompok umat Hindu belajar secara autodidak tanpa bimbingan guru suci, lewat e-books. Guru sucilah yang memahami apa yang tersurat dan tersirat dalam mantra, sloka, sukta, pustaka suci tersebut. Orang orang ini berhasil menjadi ahli dan sangat mahir dalam berorasi tentang ajaran Hindu. Siar dan debat ini harus diarahkan pada dialektika yang memartabatkan Hindu. Seseorang (Hindu) sudah sangat mahir menjelaskan berbagai aspek hanya dalam hitungan hari dengan berguru pada internet. Kondisi dan situasi millenial ini harus menjadi bahan pertimbangan dalam siar agama Hindu saat ini dan di masa yang akan datang. Cara pikir ini menjadi penting. 5
Sebagaimana kita sadari bersama, internet tidak mengajarkan seseorang untuk memahami martabat, adab dan sifat sifat kemuliaan manusia (atmajnanam). Mempelajari agama harus dari dua sisi material dan spiritual (sekala-niskala, parawidya-aparawidya) dalam pengawasan guru suci. Kalau seseorang belajar agama hanya mengandalkan pengetahuannya dari membaca pustaka suci, tujuan untuk mempelajari agama pasti tidak mencapai tujuannya.
Tranformasi pelajaran agama yang dibimbing guru suci ke pelajaran agama dibimbing “guru aplikasi” berbasis internet dan buku buku terbitan membutuhkan cara pikir yang visioner. Cara pikir yang mampu memahami dan memanfaatkan kecerdasan buatan dan perkembangan teknologi informasi. Paradigma berpikir dari kutub parampara menuju kutub cara berpikir milenial, menjadi sebuah tantangan besar dalam siar pendidikan agama Hindu. Lalu, bagaimana paradigma berpikir Hindu tersebut dibangun?
Landasan Cara Berpikir Hindu
Filsafat Barat dan FIlsafat Timur
Pandangan umum dalam mengkaji matra matra filsafat adalah dominasi filsafat barat sejak berabad abad silam sehingga filsafat timur terabaikan. Filsuf-filsuf barat merasa lebih unggul dari filsuf timur. Pada abad-abad terakhir terjadi pergeseran dari barat ke timur karena kejenuhan dan keinginan untuk memahmi “sesuatu” lebih mendalam dan luas. Filsafat timur mulai digali. Filsuf-filsuf barat mulai memahami dan mengerti bahwa filsafat timur mengandung hal yang tidak terdapat di barat, yaitu persatuan, pelayanan dan cinta kasih. Dalam perkembangan akibat semakin ditemukannya cahaya di dalam diri para filsuf barat mulai menggali ladang yang luas filsafat di timur. Ketemulah mereka filsafat timur, terutama filsafat India yang lebih sering disebut Hindu (kata Hindu ini diberikan oleh bangsa Persia). Dalam kebudayaan India terdapat sedikitnya enam filsafat utama yang disebut sad dharsana. Namun sebenarnya masih ada CARWAKA, yang tidak masuk dalam Sad Dharsana.
Sebelum melanjutkan cara berpikir Hindu, ada baiknya kita mengenal pandangan filsuf-filsuf barat yang terpengaruh oleh Filsafat Hindu. (1) Aldous Huxley. Filsuf Inggris, ia seorang penulis dan juga filsuf yang menerapkan prinsip ajaran Ahimsa dalam keluarga besar Huxley. (2) Alfred North Whitehead. Ia seorang ahli matematika yang juga seorang filsuf dan berhasil memahami sistem metafisik yang lebih komprehensif setelah mempelajari dan memahami ajaran Hindu. (3) Arnold J. Toynbee. Filsuf, profesor riset yang banyak menulis buku mengenai filsafat. Ia memperoleh banyak inspirasi setelah memahami ajaran Hindu. (4) Arthur Schopenhauer. Seorang filsuf asal Jerman yang sangat suka mempelajari filsafat timur, khususnya upanisad. Ia mengatakan bahwa “upanisad merupakan karya manusia paling tinggi dalam hal kebijaksanaan”. (5) Francois Voltaire. Ia menulis sangat banyak tek tek dan buku buku berkelas mengenai filsafat. Hal yang dapat dipetik dari pengakuan Francois Voltaire mengenai pandangannya tentang reinkarnasi. Ia mengatakan dengan berani bahwa apa yang dikisahkan mengenai reinkarnasi dalam ajaran Kristen merupakan derivasi dari ajaran Hindu. Ini tentu saja harus disikapi dengan tenang dan damai untuk menjaga harmonis bagi mereka yang belum sampai pada kedewasaan cara berpikir filsafat. (6). Wilhelm von Humboldt. Seorang filsup Prusia yang benyak menulis mengenai pencerahan filsafat. Ia sering menyitir sloka Bhagawad Gita dalam pandangannya. (7) Rudolf Steiner. Ia serorang filsuf asal Australia yang banyak membicarakan tentang kebebasan, hubungan spiritual dengan ilmu pengetahuan. Ia menjelaskan bahwa sesuatu menjadi lebih mudah menarasikan bila telah memahami Bhagawad Gita secara utuh. (8). Will Durant. Bersama suaminya ia menulis sebuah buku tahun 1926 yang berjudul “The Story of Philosophy”, yang membuat mereka mendapatkan hadiah Pulitzer Prize dan Presidential Medal of Freedom in 1977. Will Durant dengan jernih menjelaskan bahwa ketika seseorang menghadapi kekerasan, keangkuhan, kesombongan, maka kita menemukan falsafah India mengajarkan kepada kita toleransi, penghargaan, kebijaksanaan dari cara pikir orang dewasa, pemecahan masalah secara damai, persatuan dan cinta kasih.
Hindu telah menjadi rujukan para filsuf di belahan barat yang pada mulanya memandang filsafat barat lebih unggul. Ternyata banyak diantara mereka kemudian menyadari bahwa filsafat timur ternyata manawakan hal yang lain sebagai sesuatu yang memartabatkan manusia sebagaimana kita kenal dalam ajaran Hindu.
Cara Berpikir Umat Hindu
Setiap mahluk memiliki kamampuan berpikir dan puncak kesempurnaan berpikir dari semua mahluk itu adalah manusia. Manusia pada dasarnya sama dengan mahluk lainnya dalam hal makan, tidur, sanggama, dan membangun keturunan. Manusia memiliki tiga hal utama (tri pramana) yaitu: bayu, sabda dan idep. Manusia berbeda dari mahluk lain karena tiga hal tersebut. Dalam tek tek sumber ajaran Hindu manusia disebutkan memiliki sifat kemulian Tuhan. Tuhan berstana dan tubuh manusia adalah Altar Tuhan. Sifat kemuliaan Tuhan yang ada pada manusia dikembangkan dan dibangkitkan melalui ajaran Weda, melalui tapasya, yajna dan danam. Cara berpikir ini perlu dibentuk sejak dari umur dini.
Pikiran tidak pernah berhenti bergerak terus ingin mengetahui berbagai hal. Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh Umat Hindu. Apakah basis dasar ajaran Hindu? Apa sumber pengetahuan, kepercayaan dan praktik keagamaan Hindu? Atau siapakah yang disebut pemeluk Hindu? Jawaban perntanyaan ini harus ada dalam cara berpikir Umat Hindu.
Dalam ajaran Hindu ketika mempelajari ilmu pengetahuan dibahas dua hal yang bebeda, yaitu kenyataan (vidya) dan penyangkalan (avidya). Demikian juga yang bersifat dualitas: adwaita dan dwaita. Pemahaman tentang konsepsi ketuhanan juga demikian, tidak terlepas dari dualitas: Saguna Brahman (Tuhan berwujud) dan Nirguna Brahman (Tuhan tidak berwujud). Kerena itu pengetahuan mengenai Tuhan akan didekati dengan cara memahami Parawidya dan Aparawidya.
Untuk memahami Hindu dengan baik, tidak cukup hanya memahami konsep filsafatnya (sad dharsana). Seseorang disebut Hindu sedikitinya harus memahami tek tek sumber ajaran Hindu yang telah disebutkan sebelumnya, sikap tingkah laku, kepercayaan dan praktik keagamaan yang dirangkum secara lengkap dalam Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu: (1) tatwa/filsafat, (2) etika dan (3) ritual upacara/upakara. Untuk berhasil dalam melaksanakan tiga kerangka dasar ini dilengkapi dengan pemahaman dan pelaksanaan tapasya, yajna dan danam.
Dalam cara pandang Umat Hindu atas kepercayaannya sebagai pemeluk Hindu yang sradah dan bhakti wajib memahami Panca Srada (Lima Dasar Kecercayaan), yaitu: (1) Percaya dengan adanya Tuhan (Brahman); (2) Percaya dengan adanya Atman/Roh/Leluhur; (3) Percaya dengan adanya Punarbawa/Kelahiran Kembali; (4) Percaya adanya Karma; dan (5) Percaya adanya Moksa. Penjelasan lebih lanjut dengan bahasa millenial sangat diperlukan agar umat Hindu memahami dengan baik Panca Srada.
Lima dasar keyakinan ini harus menjadi dasar pijak umat Hindu dalam setiap tindakannya. Tuhan adalah Sumber Kehidupan, Sumber dari segalanya. Tidak ada satupun menjadi milik, semuanya adalah Milik Tuhan. Bahwa dalam diri setiap manusia terdapat percikan/zat Tuhan yang membuat manusia hidup dan memiliki sifat kemuliaan Tuhan (sebagaimana sifat Atman). Kelahiran sudah pasti diikuti oleh kematian. Kematian adalah pergantian badan, dari yang lama ke yang baru melalui proses antara kematian dan kehidupan (diibaratkan seperti memakai baju baru dan membuang baju lama). Karenanya kematian juga diikuti oleh kelahiran kembali, demikian seterusnya. Setiap tindakan dan perbuatan menimbulkan dampak dari tindakan atau hasil perbuatan (pahala karma). Hasil perbuatan ini harus diterima baik (subhakarma) ataupun hasil perbuatan buruk (asubhakarma). Tidak ada satu orangpun yang dapat bebas dari hasil kerja, kecuali seseorang yang telah mampu membebaskan diri dari kerja. Dalam ajaran Weda terdapat paling tidak ada 7 (tujuh) tingkatan planet surgawi yang menjadi tujuan setiap roh, apabila mampu mencapai tingkatan paling tinggi, ia tidak akan kembali yang disebut moksa.
Cara pikir umat Hindu, harus didasarkan pada pemahaman yang baik tentang lima dasar keyakinan tersebut (Panca Srada). Karena itu seseorang disebut sebagai Umat Hindu harus dapat mewujudkan tindakannya berdasarkan cara pikir sebagai berikut:
1. Setiap tindakannya mencerminkan kepercayaannya kepada Tuhan. Tidak ada satupun tindakan tanpa melibatkan Tuhan,
2. Ada zat yang memberikan energi kehidupan (Atman) sebagai pengontrol dan pembawa catatan hasil kerja (karma wasana),
3. Kehidupan yang akan datang/kelahiran kembali bisa berwujud satu dari berbagai wujud (sarwa buta: wong, satu, mina, manuk, taru, buku) ciptaan Tuhan, karenyan setiap Umat Hindu harus melakukan kegiatan yang dapat mengarahkan ia lahir kembali sebagai manusia yang lebih baik (punarjatma,
4. Setiap apapun yang dilakukan atau dikerjakan menghasilkan buah atau hasil kerja (pahala karma) sesuai dengan perbuatan (karma). Karenanya dalam setiap tindakan harus melalui pertimbangan dan pemikiran yang matang dengan memperhatikan berbagai resiko. Apapun bentuk hasil kerja harus bertanggungjawab untuk menerimanya,
5. Ada harapan untuk mencapai kebebasan abadi melalui pelaksanaan disiplin yang kuat dalam tindakan tapasya, yajna dan danam.
Dari beribu-ribu orang arif bijaksana (saleh, sujana) telah bertindak secara disiplin dalam menjalani kehidupan agar mencapai tempat tertinggi, akan tetapi hampir satu orangpun tidak mencapainya. Para arif bijaksana dalam tindakannya yang sangat disiplin mencapai planet planet atas dalam periode tertentu, namun lahir kembali. Disiplin yang harus dilakukan meliputi tiga hal sebagaimana telah disebutkan, yaitu: tapasya, yajna dan dhanam.
Cara Pikir Dalam Tindakan Sehari Hari Umat Hindu
Kehidupan umat Hindu sehari hari (khususnya di Bali) ditandai dengan kegiatan ritual, aktivitas yang berhubungan dengan persembahan sesaji baik pada waktu waktu tertentu (naimitika kala yajna) ataupun sehari hari (nitya kala yajna). Umat Hindu sudah merasa lengkap hidupnya dalam sehari bila sudah melaksanakan persembahan sesuai tradisi (mule keto, gugon towon), misalnya yajna sesa dan Trisandya.
Dalam ajaran Weda, pesembahan yang tergolong dalam kurban suci (yajna) harus disertai pula dengan tapasya dan dhanam. Beberapa kegiatan umat Hindu yang bertujuan untuk meningkatkan spiritual, srada dan bhakti adalah terkait dengan pemujaan Tuhan yang dapat ditempuh dengan menerapkan salah satu atau beberapa dari sembilan ajaran atau Nawa Widha Bhakti, yang meliputi: swaranam, wandanam, kirthanan, smaranam, padasewanam, sukhyanam, dhasyam, arcanam dan sewanam. Pemahaman dari intisari 9 ajaran tersebut akan menjadi lengkap dengan adanya ajaran Catur Yoga, empat jalan cara menuju Tuhan, yaitu: Raja Yoga, Karma Yoga, Bhakti Yoga dan Janana Yoga. Keempat jalan ini, menurut Bhagawad Gita yang paling banyak ditempuh adalah Bhakti Yoga.
Sembilan ajaran ini belum banyak dilakukan umat Hindu, hal yang dilakukan adalah sembahyang dengan mengcupakan enam bait puja trisandya. Tradisi trisandya terus dikembangkan dengan sembilan ajaran untuk semakin meningkatkan srada dan bhakti umat Hindu kepada Tuhan (Hyang Paramakawi). Berkembangnya hubungan India dengan Indonesia dan banyaknya pustaka suci diterjemahkan dan dipejari umat Hindu mendorong berkembangnya kelompok kelompok spiritual.
Umat Hindu ada yang terus-menerus melaksanakan tradisi leluhur Hindu Bali (mula keto dan gugoan tuwon), Hindu di Nusantara dan beberapa kelompok membangun tata cara pemujaan dalam meningkatkan sradha dan bahkti berdasarkan garis perguruan yang mereka peroleh di India. Warna-warni Hindu di Indonesia nampak semakin beragam (Sai Baba, Brahma Kumaris, Hare Krihna, Cinmaya, Wikanaya, dan lainnya).
Tradisi memuja yang beragam (Adikara, Panca Sidiyartha) harus dipahami oleh Umat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali sehingga hadirnya “bentuk baru” cara memuja bukan sebagai ancaman terhadap tradisi memuja yang telah ada. Hal ini terjadi sebagaimana sudah dijelaskan bahwa umat Hindu di India dan juga di Indonesia kuat pada praktek keagamaan (ritual, yajna) tetapi lemah dalam pehaman terhadap tek-tek sumber ajaran Hindu (tatwa), karena terkait dengan Warna Dharma dan Catur Asrama.
Pola pikir umat Hindu di masa depan, millenial, perkembangan revolusi industri 5.0. dan pengembangan aplikasi harus mengarah pada pemaham terhadap tatwa, etika dan ritual. Pendidikan agama mulai sejak brahmacari harus ditekankan pada pengetahuan agama yang bersumber dari tek tek autentik sumber ajaran Hindu khususnya Itihasa dan Purana. Dalam pustaka suci Weda disebutkan bahwa pelajaran Weda harus dimulai dari pengenalan dan pemahaman Itihasa (Ramayana, Mahabharata) lalu berlanjut ke Purana dan seterusnya sesuai tingkatan Warna Dharma.
Berkembangnya smartphone yang memungkinkan umat Hindu “membawa pustaka suci” dalam kantongnya merupakan peluang yang baik dalam upaya meningkatkan srada dan bhakti umat Hindu. Potensi yang besar ini harus dapat dikelola dengan baik untuk menjaga cara pandang atau cara pikir Umat Hindu.
Dalam menjalani hidup seseorang umat Hindu wajib dan tidak boleh meninggalkan 3 hal secara disiplin, yaitu: (1) tapasya, melakukan pengendalian diri dan mengontrol indera indera. Pengendalian ini akan menghasilkan ketenangan dan kedamaian diri. Kedamaian diri menghasilkan cara pikir yang terus positif. Teknik teknik pengendalian diri ini telah diajarkan dengan sangat jelas dalam tek tek sumber ajaran Hindu. Pengendalian diri yang baik akan mendorong orang lain untuk menuju pikir positif yang akhirnya setiap orang berhasil membangun cinta kasih dan pelayanan. Hasil akhirnya adalah “agawe sukaning wong len”; (2) yajna, melakukan tindakan melayani yang dilandasi kurban suci. Dalam ajaran Hindu dikenal adanya Panca Yajna, yang harus dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan yajna ini akan menyeimbangkan anasisr anasir negatif dan membangkitkan anasir anasir positif. Dalam bahasa sederhana, pelaksanaan yajna dengan tulus iklas meyenagkan para leluhur dan para dewa. Kesejahteraan hidup manusia terjadi bila para leluhur dan para dewa senang atas kurban suci yang dilakukan. Pelaksanaan kurban suci tidak boleh sembarangan, harus berdasarkan pada ajaran Weda. Yajna yang baik dan berkualitas bukan ditentukan oleh besarnya suatu yajna tetapi ditentukan oleh kejernihan pikiran, keiklasan dan cinta kasih sang Yajamana kepada Tuhan. Yajamana harus bersinergi dengan sarati dan Pandita/Wiku Tapini untuk mendirikan yajna yang berkualitas; (3) dhanam, diwujudkan dalam bentuk derma/dana punia. Seseorang yang memiliki artha yang melimpah dan disertai dengan sikap dan moral yang baik lebih mudah dalam menjalani hidup. Artha yang diperoleh, sebagaimana sudah dijelaskan harus diperoleh dengan mengindahkan darma. Para dermawan akan lebih mudah dalam memenuhi keinginannya yang baik (kama). Artha yang telah dipersembahkan menjadi suci. Persembahan artha akan mengangkat derajat seseorang. Dana punia adalah kegiatan yang dapat mensucikan artha. Dalam Rgweda disebutkan” carilah artha dengan seratus tangan dan dermakan artha dengan seribu tangan”. Artinya bahwa artha secara spiritual mengandung hak orang lain atau mahluk lain dalam bentuk dana punia. Mencari dan mengumpulkan artha wajib bagi umat Hindu, tetapi dengan dasar dharma.
Berdasarkan narasi tersebut yang secara umum cukup lengkap, umat Hindu pada dasarnya telah memahami dan telah melaksanakan cara berpikir mengenai prinsip dalam ajaran Weda, yaitu: (1) Keberadaan Tuhan; (2) Semua manusia arif bijaksana/saleh; (3) Semua makluk ciptaan Tuhan harus dihormati; (4) Membangun harmoni bagi semua mahluk dan alam; dan (5) Pengetahuan mengenai sadhana dharma. Dari lima hal tersebut 4 yang pertama sudah dilakukan dengan sangat baik sedangkan poin kelima yaitu sdahana dharma perlu ditingkatkan.
Sadhana dharma ini meliputi (1) Gita, (2) Ganga, dan (3) Gayatri. Gita, kebiasan untuk melantunkan (swaranam, kirthanam) sloka sloka suci pada tek tek sumber ajaran Hindu, misalnya Bhagawad Gita dan lainnya. Menyanyikan sloka suci belum merupakan kebiasan bagi sebagian besar umat Hindu (setiap umat Hindu dalam rumahnya ada Bhagawad Gita, termasuk aplikasi pustaka suci pada smartphone, pada saatnya). Kelompok kelompok spiritual yang bernafaskan Hindu secara rutin melaksanakan dengan disiplin japa tersebut. Perkumpulan sekehe demen sesantian juga terus berkembang dan dapat menjadi kelompok siar.
Ganga, berupa tirta suci sebagai “wasuh pada” telah dilakukan dengan sangat baik dan ketat. Tirta suci merupakan ciri khas sadhana umat Hindu yang dipercikkan ke ubun ubun, meraup dan meminum. Air Sungai Ganga diyakini, sebagaimana disebutkan dalam ajaran Weda, merupakan air suci yang dapat membersihkan segala dosa dan perbuatan buruk. Konsepsi ini harus dipahami sebagai falsafah hidup yang harus dilakukan. Dalam prakteknnya setelah menerima air suci dari pujari, dilanjutkan dengan menerima basma atau wubuti yang diletakkan pada kening sesuai peruntukannya.
Gayatrimantram, atau juga disebut the mother of mantras. Melantunkan Gayatrimantram (japa), sebagai mantra suci yang utama pada waktu yang telah ditetapkan dalam ajaran Weda memberikan dorongan kuat pada berhasilnya seseorang dalam kehidupan lahiriah dan spiritual. Dalam teks Gayatrimantram telah terdapat 26 ista dewata yang dichantingkan dan menciptakan vibrasi damai.
Namun demikian, karena luasnya ajaran Hindu, umat Hindu untuk dapat meningkatkan sradha dan bhakti, sedapat-dapatnya harus dibimbing guru atau guru suci dalam belajar weda. Agar umat Hindu memahami dengan benar makna setiap tek dan cara mengucapkan mantra-mantra tersebut. Untuk kepentingan hidup sehari hari bagi walaka, umat Hindu pada umumnya, ajaran ajaran berikut ini akan mendorong peningkatan sikap spiritual, yaitu : (1) Satya; (2) Ahimsa; (3) Brahmacharya; (4) Asteya; (5) Aparigraha; (6) Saucha/Suddhata; (7) Tatwam Asi; (8) Swadiyaya; (9) Thapasya; dan (10) Iswarapradiha.
Klasifikasi Cara Berpikir Hindu
Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai tradisi belajar Weda di masa lalu yang berpusat pada guru suci (guru-parampara) dibandingkan dengan cara belajar pada masa millenial dengan adanya perkembangan teknologi yang maju pesat. Dalam Bhagawad Gita disebutkan bahwa pengetahuan suci ini telah diajarkan sejak awal penciptaan, mengalami kemunduran dan akhirnya lenyap sesuai perkembangan zaman (mahapralaya). Kemudian dilahirkan kembali pada masa masa berikutnya untuk memberi pedoman kepada manusia untuk menuju tujuan sejatinya, yaitu moksa.
Ajaran Weda tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Diciptakan pertama kali dan terakhir kali. Apa yang ada dalam ajaran Weda belum tentu ada pada ajaran manapun, namun apapun yang ada dalam ajaran yang lain sudah pasti ada dalam ajaran Weda. Dalam beberapa sumber disebutkan ajaran Weda bagaikan alam hutan yang maha luas dan lebat, hanya orang orang yang paham seluk beluk hutan yang tidak kesasar dalam lebatnya hutan tersebut. Manusia mempunyai keterbatasan dalam memahami ajaran Weda, dan tidak cukup waktu hanya dalam satu kelahiran, diperlukan puluhan kali lahir lagi untuk memahaminya. Untuk memudahkan dalam menarasikan paradigma berpikir Hindu, terlebih dahulu akan dijelaskan dua hal sebagai berikut.
Sumber Ajaran Hindu Dalam Bingkai Tripramana dan Catur Yuga
Sumber autentik ajaran Hindu sesuai Gambar 1 dari masa ke masa tetap sama yaitu: Weda Sruti dan Weda Smerti yang masing masing memiliki cabang cabangnya. Weda Sruti terdiri dari Rgweda (10.552 mantra), Samaweda (1.875 mantra), Yayurweda (1.975 mantra) dan Atarwaweda (5.987 mantra) yang juga disebut Catur Weda. Weda Sruti terdiri atas dua bagian besar yaitu Wedangga dan Upaweda. Wedangga (Sadwedangga) terdiri atas enam bagian yaitu: Siksa (Phonetika); Wyakarana (Tata Bahasa); Chanda (lagu); Nirukta (penafsiran kata kata); Iyotisha (Astronomi); dan Kalpa. Upaweda terdiri atas lima bagian, yaitu: Itihasa (Epos Ramayana dan Mahabaratha); Purana (18 Maha Purana dan 18 Upapurana); Arthasastra (Ilmu Pemerintahan dan Politik: Nitisastra), Ayur Weda (Ilmu Pengobatan); dan Gandharwa Weda (Ilmu Seni). Pengelompokan Weda Smerti secara umum karena masih terdapat banyak pustaka suci lainnya seperti Bhagawad Gita, Dharma Sastra, Upanisad, Vedanta, Mimamsa, Dharsana dan lainnya.
Setiap masa memiliki karakter yang menjadi ciri dari masa tersebut. Demikian juga dalam ajaran Hindu dikenal pembagian masa yang juga memiliki ciri ciri. Masa dalam ajaran Hindu disebut Catur Yuga, yang terdiri atas: (1) Satya/Kreta Yuga selama 4.200.000 tahun; (2) Treta Yuga selama 1.296.000 tahun; (3) Dwapara Yuga selama 864.000 tahun; dan (4) Kali Yuga 432.000 tahun. Satu putaran yuga ini disebut Mahayuga. Setelah putaran mahayuga mencapai 71 kali disebut 1 periode manwantara. Setelah putaran telah mencapai 14 kali manwantara disebut dengan 1 kalpa. Setiap 1 kalpa terjadilah mahapralaya (1 malam brahma), dunia dilebur dan diciptakan kembali (1 siang bagi Brahma) pada periode selanjutnya.
Pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam setiap tahapan masa Catur yuga harus menjadi spirit positip dalam cara pikir umat Hindu. Bahwa ajaran Weda yang abadi dilaksanakan oleh manusia semakin merosot dari Satya Yuga ke Kaliyuga akibat moral manusia yang semakin merosot (decending dharma) akibat perubahan lingkungan yang mendorong bergesernya sifat satwa menuju ke sifat tamas dan pengontrolan diri yang semakin rapuh. Sebagai sebuah lingkaran yang berputar pada porosnya, suatu saat akan terjadi kejenuhan dan terjadi acending dharma pergerakan dari Kaliyuga menuju Satya Yuga, sebagaimana pemahaman siklus Kalpa: penghancuran dan penciptaan setiap malam.
Brahma dan Siang Brahma. Menyadari hal ini, umat Hindu harus terus berpikir jernih untuk tetap konsisten menjaga dharma. Mereka yang konsisten akan selamat pada setiap zaman, sebagaimana dapat dicapai para Maharsi di masa lalu (Parasurama, Brgu, Wedawyasa, dll).
Penutup
Hindu bukan dipelajari tetapi dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran adalah konsep sebagai penanda (simbul, nyasa) tetapi yang paling penting adalah membangun kesadaran murni secara ke dalam. Pelatihan yang disiplin (yoga) akan menegakkan jalan kebenaran (dharma). Dengan cara ini umat Hindu harus trampil dalam menempatkan diri. Bila setiap orang trampil menempatkan diri, harmoni sosial lebih cepat dapat dicapai.
Lembah Barat Gunung Batukara, 28 Desember 2025:8.17
Brand
Explore our sleek website template for seamless navigation.
Contact
Newsletter
info@email.com
Oo
© 2024. All rights reserved.