PERSEPSI MASYARAKAT ADAT BALI TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG

Bali secara tradisional memiliki cara menata ruang berdasarkan kebudayaan Bali, yang telah berlangsung sangat lama. Pemerintah dalam penyusunan rencana Tata Raung berdasarkan UU tentang Penataan Ruang. Adanya UU ini mengabatkan di bali terjadi "dualisme" dalam penataan ruang, terutama pemanfaatan rencana Tata Ruang.

JMA I Ketut Puspa Adnyana

12/28/20256 min read

PERSEPSI MASYARAKAT ADAT BALI TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG

Pengantar

Mengulas Bali, tidak cukup hanya dengan kata-kata. Bali mempunyai daya tarik yang tidak dimiliki bagian dunia lain. Karenanya Bali terombang-ambing pada kutub-kutub dengan penuh kepentingan. Beberapa buku mengenai Bali (Miguel Covarrubias, Clifford Geerzt, Geoffrey Robinson) dan info medsos membuat takjub. Takjub karena titiyang hanyalah orang Bali. Bukan karena kemampuan para penulis buku tersebut menarasikan tentang keelokan Bali, namun mengisahkan tentang Bali kekinian. Mulai dari prilaku Anak Muda Bali Nuwed (AMBN), pentingnya anak laki laki, maraknya Perceraian Pasangan Muda (PPM), Upakara Upacara Membuat Miskin (UUMM), Perubahan Pemanfaatan Ruang Tradisional Bali (PPRTB), Tenaga Kerja Non Hindu Bali (TKNHB), Konversi Bali Hindu (KBH), Konflik Sampradaya (KS) dan Kelesuan Ekonomi Pariwisata Bali (KEPB).

Tulisan ini merupakan rangkuman dari pengamatan lanjutan sejak melakukan penelitian untuk disertasi tahun 1999 – 2003 dan amatan selama ulang-alik 2-3 kali setahun menghadiri acara keagamaan dan adat keluarga. Suatu saat, para perantau ini akan kembali ke tanah kelahirannya, bila ada pasewecan leluhur.

Momen itu titiyang gunakan untuk merekam “pengaduan” warga atas kegelisahan mereka mengenai masa depan Bali. Meskipun bila dibuka rekaman itu banyak mengandung hal positif dan juga negatif. Baik data positip dan data negatif dalam perencanaan adalah informasi penting, ketika sebuah wilayah membutuhkan “pertolongan” para perencana untuk menemukan jalan masa depannya (rencana).

Bali Unik

Bali memang unik, bukan saja pemerintahannya menganut dualitas tetapi juga pemanfaatan ruangnya. Ada desa dinas dan ada desa adat. Sekarang berdasarkan produk Hukum Provinsi Bali, adat ini telah memiliki lembaga yang disebut Majelis Adat. Dalam hal pemanfaatan ruang, tidak berbeda dengan pemerintahan dikenal Tata Ruang Tradisional Bali (TRTB) dan Tata Ruang Modern Bali (TRMB). Pemilahan ini tidak ditemukan dalam referensi ilmiah, titiyang lakukan kodifikasi dan mendeskripsikannya untuk memudahkan kajian dalam rangka menulis disertasi, dengan kaidah-kaidah ilmiah melalui pendekatan inquiry. Dengan demikian sangat terbuka untuk kritik.

Ahli-ahli sosiologi bahkan para psikiatier setuju bahwa dualisme lebih banyak menimbulkan masalah daripada keuntungan. Pendapat ini umum, bahkan di Bali ada prasa atau anekdot yang sering digunakan untuk menggambarkan sifat mendua: “care nakep balang a dadua”. Bisa jadi lolos keduanya, yang lebih sering atau dapat dua (kalau beruntung). Anekdot ini lebih pada pesan manajemen resiko, untuk meningkatkan kepastian dalam ketidakpastian. Sesuatu yang positif, bila telah memahami Bali.

Akan tetapi membicarakan dualisme dalam konsteks kebudayaan Bali haruslah berhati hati. Karena dualisme adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam pemahaman tradisi Bali (rwa-bineda). Hal-hal yang baik selalu mengandung hal-hal yang buruk (rwa bhineda, dualitas). Hal-hal yang menyenangkan selalu ada potensi penderitaan. Demikian juga ruang, ketika ruang dikelola didahului dengan penghancuran ruang awal, dan seterusnya, sampai terbentuk keseimbangan dalam ruang baru membentuk ekosistem baru yang kemudian disebut habitat.

Mengenal Tata Ruang Tradisional Bali Dan Tata Ruang Modern Bali

Sekali lagi, Bali memang unik. Untuk memudahkan ulasan dan kajian, perlu dilakukan identifikasi kemudian ditetapkan istilah. Istilah atau apa saja, perlu diberi deskripsi dan penjelasan agar dipahami tanpa menimbulkan salah paham. Karena itu, untuk memudahkan kajian, ruang Bali dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Tata Ruang Tradisional Bali (TRTB) dan (2) Tata Ruang Modern Bali (TRMB). Pemilahan ini didasarkan pada konten, kontek dan dasar penyusunannya. TRTB adalah gagasan masyarakat adat Bali berdasarkan kebudayaan Bali dan TRMB adalah gagasan pemerintah secara nasional berdasarkan perundangan yang berlaku.

Tata Ruang Tradisional Bali (TRTB) adalah istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan ruang yang disusun berdasarkan kebudayaan dan tradisi Bali yang adiluhung (asta kosala-kosali, Asta Bumi). Ruang dipersonifikasikan sebagai manusia yang berdiri (vertikal) atau tidur terlentang (horizontal). Sementara itu, Tata Ruang Modern Bali (TRMB) adalah istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan ruang yang disusun berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. TRMB memberikan dan mempertimbangkan ruang tradisional dalam alokasi pemanfaatan ruang. Dengan demikian TRTB jauh lebih tua daripada TRMB.

1. Tata Ruang Tradisional Bali (TRTB). TRTB dalam penyusunannya didasarkan pada konsep konsep budaya Bali yang diilhami ajaran Hindu (Vasthusastra). Dalam teori penciptaan, alam semesta diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan akan kembali kepadaNya (Shang Hyang Sangkan Paran). Dalam proses penciptaan ini dikenal istilah puser atau pancer, poros dalam konsep wilayah di Bali. Konsep puser ini kemudian memberikan pemahaman mengenai tata arah (orientasi ruang) dan tata letak yang saling berlawanan namun menyatu (rwa-bhineda). Dalam proses penciptaan alam semesta (buana agung) dan manusia (buana alit), dikenal istilah purusa (rohani) dan prakriti (kebendaan). Konsep rwa-bhineda memberikan pengertian azas jiwa dan azas kebendaan dalam penataan ruang tradisional Bali. Arah atau orientasi ruang melahirkan pemahaman ruang sakral dan ruang provan didasarkan pada etika spiritual yang dilandasi konsep jiwa. Azas kebendaan terdiri atas lima unsur yang disebut panca maha butha, yang terdiri atas: pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (angin) dan akasa (ether). Unsur unsur ini dalam penataan ruang di Bali diupayakan agar terbentuk harmonis (somya). Secara makro (buana agung), konsep kebendaan ini dalam penataan ruang diwujudkan dalam pembagian wilayah (palemahan) yang dilandasi azas rohani dari konsep rwa-bhineda: kaja-kelod (utara-selatan), kangin-kauh (timur-barat) yang menghasilkan konsep madya (tengah). Wilayah (palemahan) kemudian dibagi menjadi tiga berdasarkan konsep tri buana (bur, bwah, swah); tri angga (utama angga, madya angga, kanista angga), tri mandala (utama mandala, madya mandala, kanista mandala); dan catus pata/catur muka (timur laut, barat daya, barat laut, tenggara); serta sembilan arah (padma buana, sanga mandala). Penjiwaan terhadap pemahaman tata ruang tradisional Bali didasarkan pada tiga kerangka dasar Agama Hindu, yang melandasi setiap altivitas umat Hindu di Bali.

2. Tata Ruang Modern Bali (TRMB). Tata Ruang Modern Bali adalah tata ruang yang dibentuk dan disusun oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundangan yang belaku (UU Nomor 27 Tahun 2006 tentang Penataaan Ruang, dan UU sebelumnya). Dalam penataan wilayah Indonesia secara hirarkis dikenal RTRW Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Dalam penataan ruang berdasarkan undang undang dikenal pola ruang dan struktur ruang. Aspek aspek filsafat rohani tidak dikenal dalam penataan ruang modern, akan tetapi ada konsep azas penataan ruang yang menekankan pada keseimbangan sehingga membagi ruang menjadi ruang budidaya dan ruang non budidaya.

Dualitas Penataan Ruang Di Bali

Sekali lagi: Bali memang Unik. Aktivitas keseharian krame Bali selalu meletakkan pemahaman sekala-niskala sebagai maindstream kesucian dalam berpikir, berkata dan bertindak (tri kaya parisuda). Hidup bukan hanya untuk hari ini (sekala) tetapi juga untuk kematian (niskala).

Dalam penataan ruang masyarakat adat beperdoman pada tradisi dalam menata ruang sebagaimana konsep TRTB tersebut. Adanya hegemoni pemerintah dalam penataan ruang dengan memberlakukan secara nasional undang-undang penataan ruang memunculkan dualitas di Bali.

Dalam benak masyarakat Bali mereka berada dalam ruang tradisional, namun secara administrasi mereka berada dalam ruang modern. Pertentangan ini kemudian melahirkan banyak keragaman dalam mengimplementasikan rencana tata ruang dalam pemanfaatannya. Menurut tradisi bahwa telah terjadi perubahan pemanfaatan ruang (PPR) namun secara administratif tidak terjadi perubahan. Dualitas ini menimbulkam ambigu yang kemudian akan menyasar pula pada pelaksanaan upacara dan upakara terkait ruang wilayah (pelemahan). Misalnya dengan berubahnya palemahan desa adat karena masuknya kawasan permukiman modern, mau tidak mau ruang tradisional terabaikan, apalagi apabila ruang yang digunakan berasal bukan dari palemahan untuk permukiman. Terjadi perubahan terbalik dari upacara Mendak Dewi Sri menjadi Ngantukang Dewi Sri.

Situasi seperti ini kemudian menimbulkan banyak variasi, baik pemahaman ruang secara vertikal (manusia berdiri) maupun hirozontal (manusia tidur). Rumah-rumah bertingkat dengan bangunan kahyangan di tingkat paling atas, belum memiliki pola baku, seperti Pola Tata Ruang Kahyangan (PTRK) atau Pola Tata Ruang Natah (PTRN).

Karang tenget, gege, bukan lagi menjadi halangan untuk kegiatan pembangunan asalkan menguntungkan investasi secara ekonomi. Hulu-teben, saklral-provan tidak menjadi pertimbangan lagi dalam memanfaatkan ruang untuk kepentingan pembangunan modern berbasis investasi (hotel, resort, perumahan, dll).

Berdirinya rumah rumah kecil (RSSS) dengan dua kamar, bagi masyarakat adat Bali tidak memungkinkan menerapkan Pola Tata Ruang Natah (PTRN) dan Pola Tata Ruang Kahyangan (PTRK), apalagi Pola Tata Ruang Desa Adat (PTRDA). Secara sekala dan niskala ambigu pemanfaatan ruang di Bali menjadi masalah bagi kelangsungan tradisi masyarakat adat Bali. Karenanya dibutuhkan pola yang baku, yang entah menjadi tugas siapa (Majelis Adat?).

Persepsi Masyarakat Adat Bali

Dalam disiplin ilmu sosiologi ada istilah Altruisme. Sebuah isme yang menggambarkan bahwa selalu ada pejuang dalam sebuah komunitas atau elit yang diberikan wewenang untuk berjuang atas nama komunitas tersebut. Masyarakat adat Bali tersusun atas 38 klan. Setiap klan memiliki sikap dan prilaku yang berbeda terkait dengan warna atau wangsanya. Sebuah keniscayaan bahwa setiap klan memiliki naluri untuk membangun aktualisasi klan. Dalam membangun Bali Maju, pendekatan klan ini jauh lebih mudah mendapatkan dukungan bila setiap klan memiliki satu kesepahaman persepsi mengenai : kemana Bali Maju kelak?”.

Namun, sampai saat ini data empirik menunjukkan klan lebih mengatualisasikan kepentingan klannya daripada membangun Bali Raya. Situasi ini menjadi potensi yang subur untuk terjadinya konversi dan fragmentasi dalam sebuah suku yang berbahasa satu dan bertanah air satu : Bali. Hal tersebut dapat ditunjukkan ketika dikaitkan dengan pemilihan langsung kepala daerah. Secara ekonomi klan klan berlomba untuk membangun pengaruh, apakah lewat BPR, Koperasi dan sebagainya.

Hanya saja, dalam hal terkait penataan ruang klan-klan ini tidak menunjukkan partispasinya, misalnya kasus Bali Nirwana Resot di masa lalu, reklamasi Padang Galak, panas bumi Bedugul, reklamasi Teluk Benua. Tidak ada data yang terkumpul terkait ormas-ormas yang bergerak mengatasnamakan Lestarikan Budaya Bali (LBB), apakah terkait kalan atau tidak. Perlu pengkajian yang lebih mendalam.

Masyarakat adat Bali berdasarkan data hasil wawancara (450 informan) berpersepsi negatif terhadap PPRTB. Persepsi negatif ini lebih pada kenampakan TRMB yang beberapa aspek berlawanan dengan TRTB. Situasi masyarakat adat Bali sama dengan penghuni kawasan permukiman yang telah berkonsep modern tetapi prilaki penghuninya masih pada permukiman kampung. Maka dapat dilihat dalam kawasan permukiman akan terjadi frekuwensi dan intensitas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peruntukannya: mislanya bengkel, UMKM atau lainnya.

Persepsi negatip ini bila tidak dikelola akan menimbulkan respon negatif pula. Data empirik menunjukkan dalam kawasan kawasan permukiman sering terjadi penutupan akses, sehingga timbul istilah ‘tanah kebebeng” dan “ tanah terbang” pada konsolidasi lahan pada pembangunan kota.

Penutup

Transformasi budaya Bali, mau tidak mau terus berlangsung melenggang akibat penyesuaian dengan dinamika kebutuhan pemanfaatan ruang. Sementara upaya “revitalisasi atau pelestarian”TRTB belum dapat dikatakan berhasil. Namun itulah perubahan yang abadi, sehingga harapan Cliford Geszt agar Bali tetap menjadi moseum hidup yang menyimpan kebudayaan Hindu yang masih hidup satu satunya di Asia Tenggara, juga akan meredup. Bali telah menjadi Bali 5.0. Om Santih.

(Gambar Peta Pulau Bali, kolaborasi AI).