RENUNGAN DINI HARI 2

Renungan ini merupakan hasil pengalaman hidup dan mengamati kehidupan sosial. Mengamati kehidupan sosial sangat menarik dan menjadi pelajaran untuk mengukur diri mengenai apa yang harus dilakukan akan berkontribusi terhadap upaya membangun Harmonis Sosial yang menjadi dambaan setiap manusia.

JMA I Ketut Puspa Adnyana

12/27/20254 min read

RENUNGAN DINIHARI 2

“Latihan yoga mulai dari Asana, Pranayana, Prathyahara, Dharana, Dhyana dan sampai pada Samadhi. Godaan besar terjadi pada saat mencapai Samadhi. Orang yang telah mencapai Samadhi kalau kembali disebut Siddha dan kalau menetap disebut Mukthi atau Nirwana (Moksha). Seorang disebut Siddha bila telah mencapai kekuasaan Tuhan tetapi bukan Tuhan dan bukan Awatara. Ia mengetahui masa lalu dan masa depan. Ia dapat membaca pikiran orang dan makluk lain. Tubuhnya lebih ringan dari kapas sehingga terbang. Apapun yang ia niatkan terjadi. Kekuasaan ini disebut Siddhi. Seorang siddha pastilah Yogi, tetapi Yogi tidaklah Siddha. Kalau karakter seorang Siddha buruk, ia menjadi bencana. Kalau karakter awal seorang siddha baik, maka ia menjadi karunia bagi kehidupan manusia. Inilah sebabnya seorang Mahaguru sangat berhati-hati membimbing seorang murid dalam latihan Yoga. Agar seorang murid Yoga menjadi Siddha yang merupakan anugrah bagi kemanusiaan, maka Yoga dan Karuna diajarkan bersamaan. Yoga adalah latihan disiplin dalam segala hal, dan Karuna adalah kasih sayang murni tanpa batas”.

MAKNA:

Renungan ini memuat ajaran klasik Yoga sebagaimana tertulis dalam Yoga Sutra Patanjali dan didalami lebih jauh dalam tradisi-tradisi tantra maupun bhakti. Penekanan bahwa godaan justru muncul di puncak—yakni Samadhi—merupakan pengingat yang sangat penting. Tidak semua yang “naik” akan menjadi terang; beberapa malah jatuh oleh karena kelekatan pada siddhi.

"Seorang Siddha pastilah Yogi, tetapi Yogi tidaklah Siddha."

Ini kalimat kunci. Artinya, capaian siddhi bukanlah tujuan dari Yoga, tetapi bisa muncul sebagai hasil samping. Hasil samping yang kuat dan hebat bila disalhgunakan sangat berbahaya. Bila karakter tidak dimurnikan oleh Karuna, kekuatan itu menjadi bencana. Inilah titik paling halus dari godaan—bukan uang, bukan nafsu, bukan duniawi—tetapi kekuatan supranatural yang membutakan nurani bila tidak disertai cinta kasih (inilah awal black magic).

Dalam tradisi Mahayana dan Bhakti, Karuna (kasih sayang) bahkan dianggap lebih tinggi dari kebijaksanaan murni. Buddha Avalokitesvara atau Kwan Im adalah lambang dari puncak belas kasih yang mengatasi siddhi. Demikian juga dalam Hindu, dewa-dewa besar tidak pernah disebut hanya karena kekuatan mereka, tetapi karena cinta mereka terhadap dunia. Dewi Kwan Im, menolak masuk Nirwana. Alasannya kalau ia masuk nirwana tidak lagi berhubungan dengan manusia, yang perlu dibimbing. Dewi Kwam Im memilih membimbing manusia. Karena menurutnya lebih bermanfaat, dan mengorbankan haknya masuk nirwana.

CONTOH SIDDHA:

Contoh 1

Rahwana: Siddhi yang Dituntun oleh Ego dan ambisi

1. Aspek Ilmu dan Tapasya:

Dalam Ramayana, Rahwana dikenal sebagai raja raksasa (rakshasa) yang memiliki pengetahuan tinggi, penguasaan Veda, dan kekuatan luar biasa hasil dari tapasya (pertapaan berat). Ia mendapatkan anugerah dari Dewa Brahma setelah bertapa selama sepuluh ribu tahun, hingga membakar dirinya sebagai wujud kesungguhan. Bhahkan Rawana berkenan menjadi Pemimpin Pitra Puja samskara Yajna (hanya Rahwana seorang Brahmana Muni, yang patut memimpin Pitra Puja), di tengah perang atas permintaan Sri Ramachandra untuk ayahnya Raja Dasaratha. Dan Sri Rama meminta Laksamana untuk berguru ketika menjelang gugurnya Rahwana.

  • Ia memiliki kemampuan berpindah tempat, membaca pikiran, dan bahkan menguasai ilmu musik dan astrologi.

  • Rahwana juga dikenal sebagai pemusik handal, pencipta nada-nada sakral (Saama Veda) dan disebut Shivabhakta (pemuja Siwa).

Pencapaian Rahwana, merupakan ciri-ciri Siddha secara teknis.

2. Aspek Siddhi dan Kekuasaan:

Rahwana memiliki banyak siddhi, seperti:

  • Kemampuan berubah bentuk (maya),

  • Terbang, menjadi tak terlihat,

  • Memanggil senjata surgawi (astra),

  • Mengendalikan unsur-unsur alam,

Ini mencirikan ia sebagai Yogi Siddha dari jalur tapas.

3. Titik Kritis: Karakter dan Etika

Namun, inilah batasnya:

“Kalau karakter seorang Siddha buruk, ia menjadi bencana.”

Rahwana melanggar dharma:

  • Menculik Sita, istri orang lain,

  • Menyalahgunakan kekuasaan spiritual untuk ego dan hawa nafsu,

  • Menolak nasihat para resi, bahkan adik-adiknya sendiri (Vibhishana, Kumbhakarna) yang mengingatkan bahaya adharma,

  • Membuat Laboratorium yang disebut NIkumbila, dengan penelitian yang bertujuan: hidup abadi, membangun terowongan terhubung dengan triloka, tidak mengenal sakit dan masa tua bagi manusia, serta wahana terbang .

Maka meskipun Rahwana Siddha, ia adalah contoh Siddha yang jatuh, karena kekuatan tidak dibimbing oleh karuna dan kebijaksanaan.

Kesimpulan Contoh:

Rahwana adalah Siddha secara kemampuan, tetapi bukan Siddha secara nilai dan tujuan.
Ia menjadi cermin bahaya bahwa seorang Siddha bisa menjadi bencana bila tanpa kasih dan karakter luhur

Contoh 2:

Wiswamitra: Siddhi yang Dituntun oleh Karuna

1. Awal sebagai Raja Ksatria: Ego dan Ambisi

Wiswamitra awalnya bukan brahmana atau resi, tetapi seorang raja besar bernama Raja Kaushika. Ia memiliki kekuasaan, kebanggaan, dan semangat kompetitif.

Kisah transformasinya dimulai ketika ia kalah adu kekuatan spiritual dengan Maharsi Vasistha, yang hanya mengandalkan brahmatejas (kekuatan spiritual murni) tanpa kekuatan senjata. Wiswamitra marah dan merasa terhina. Ia pun meninggalkan kerajaannya dan bertapa dengan satu tujuan:

“Aku akan menjadi Brahmaṣi!”

Namun ini masih penuh dengan ambisi dan ego siddhi. Kemudian diketahui bahwa hasil hubungan dengan apsara menurunkan dinasti Kuru. Kemungkinan besar kehancuran dinasti Kuru terkait dengan ambisi dan ego Raja Kausikha.

2. Mencapai Siddhi: Kekuatan Besar tetapi Ego Belum Luruh

Setelah ribuan tahun tapa:

  • Ia mendapatkan banyak siddhi,

  • Ia menciptakan trisanku svarga (surga buatan),

  • Ia bahkan menciptakan seluruh ras dan makhluk saat membantu Raja Harishchandra dan lain-lain.

Tapi... masih gagal diakui sebagai Brahmarṣi oleh Maharsi Vasistha karena ia belum sepenuhnya menghapus amarah, dendam, dan ego.

3. Titik Transformasi: Karuna Lahir

Perubahan sejati terjadi saat Wiswamitra mulai:

  • Mengorbankan egonya demi kebaikan umat manusia,

  • Melindungi Vishwamitra Gautama dari murkanya sendiri,

  • Menjadi guru Ramayana (mengajari Rama dan Laksmana),

  • Menahan diri dari amarah, bahkan ketika dihina,

  • Menjaga tapah (askesis) bukan demi diri sendiri, tetapi demi dharma dan manusia.

Akhirnya, Maharsi Vasistha menyebutnya:

“Engkau kini bukan hanya Siddha, tapi juga Brahmaṣi—karena engkau telah dipenuhi oleh Karuā.”

Perbandingan Pencapaian Rahwana dan Wasista:

Rahwana: asal: brahama (raksasa), Siddhi: sangat tinggi, Tujuan: Kekuasaan, keinginan, transformasi: gagal, terjebak ego, karakter akhir: adharma-destruktif, status: siddha yang jatuh

Wiswamitra: asal: kstrya, Siddhi: sangat tinggi, Tujuan: ego-spiritual, balas dendam, transformasi: sukses dan melewati ego, karakter akhir: dharma dan welas asih, status: siddha yang menjadi Brahmana.

Penutup:

“Siddhi adalah kekuatan. Karuna adalah cahaya. Rahwana punya kekuatan tanpa cahaya—lalu membakar segalanya. Wiswamitra menemukan cahaya dalam dirinya, lalu menerangi dunia.”

Referensi: Ramayana Walmiky dan Maha Purana.

Lembah Barat Gunung Batukaru-Pujungan, 18 Desember 2025:5.32